SHARM EL SHEIKH - Think-tank lingkungan Ember, sebuah Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih, Institut Ekonomi Energi dan Analisis Keuangan dalam laporan terbarunya pada Kamis (10/11) menyebutkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) telah membantu tujuh negara di Asia menghindari potensi biaya bahan bakar fosil sekitar 34 miliar dollar AS pada paruh pertama tahun ini.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa tenaga surya membantu beberapa negara Asia memenuhi permintaan listrik mereka di tengah melonjaknya harga bahan bakar fosil.
Seperti dikutip dari The Straits Times, ketujuh negara tersebut adalah Tiongkok, India, Jepang, Korea Selatan, Vietnam, Filipina, dan Thailand. Penghematan bahan bakar fosil setara dengan 9 persen dari total biaya bahan bakar fosil di negara-negara mereka pada periode Januari hingga Juni 2022.
Tiongkok adalah ekonomi teratas dengan kapasitas surya terbesar di dunia, sedangkan Jepang, India, Korsel, dan Vietnam juga berada di antara sepuluh negara teratas global dalam hal pembangkit listrik tenaga surya.
Pada 2020, Tiongkok hanya memiliki 1 gigawatt tenaga surya, tetapi pada akhir 2021 meningkatkan kapasitas menjadi 307 gigawatt. Tahun ini, Beijing diharapkan dapat menambah antara 75 dan 90 gigawatt energi surya baru ke jaringan listriknya.
Dengan memperluas kapasitas tenaga surya mereka, memungkinkan Tiongkok untuk memenuhi lima persen dari total permintaan listriknya dalam paruh pertama tahun ini, sehingga terhindar dari belanja impor batu bara dan gas senilai 21 miliar dollar AS.
Sementara itu, Vietnam yang memiliki pembangkit listrik tenaga surya hampir nol terawatt jam pada 2018, tetapi negara tersebut kini telah mencapai titik di mana tenaga surya menyumbang 11 persen dari permintaan listrik, setara dengan 14 terawatt dari Januari hingga Juni. Hal itu memungkinkan negara untuk menghindari tambahan biaya bahan bakar fosil sebesar 1,7 miliar dolar AS.
"Meskipun Vietnam dengan cepat memperluas kapasitas tenaga suryanya, jaringan energi belum siap untuk peningkatan tenaga surya yang tiba-tiba, menyebabkan output tenaga surya turun 30 hingga 40 persen di beberapa daerah," catat laporan itu.
Meskipun telah membaik, investasi untuk kapasitas tenaga surya baru telah turun dramatis, sebagian besar karena ketidakstabilan jaringan dan berlanjutnya penundaan rencana pengembangan tenaga kedelapan negara (eighth power development plan/ PDP8). Perusahaan dan industri internasional telah mendorong investasi tenaga surya dalam pengembangan jaringan mikro, misalnya, untuk memenuhi permintaan mereka akan sumber energi bersih.
Konfigurasi Ulang
Analis listrik Ember Asia, Achmed Shahram Edianto, mengatakan bahwa Vietnam perlu mengonfigurasi ulang seluruh sistem tenaga listrik di sekitar energi bersih ke dalam kebijakan mereka, dan memperluas tenaga surya harus melampaui pengurangan kekurangan listrik.
"Oleh karena itu, rencana pengembangan tenaga listrik yang akan datang harus membangun kembali sistem tenaga listrik negara di sekitar energi bersih, daripada hanya menggabungkan beberapa jalur transmisi lagi, untuk mengurangi kemacetan jaringan," tambahnya.