Pemanfaatan PLTS atap secara masif oleh masyarakat dan industri akan mempercepat target PLN mewujudkan energi terbarukan hingga mengurangi biaya bahan bakar untuk pembangkit listrik tenaga gas.

Jakarta - Penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap dinilai menguntungkan pemerintah dan PLN. Sebab, pemanfaatan energi ramah lingkungan tersebut dapat mengurangi subsidi dan menekan nilai investasi.

"PLN mengeluarkan biaya pokok pembangkit 1.028 rupiah per kWh, sementara tarif industri yang disubsidi sebesar 972 rupiah per kWh. Penggunaan PLTS atap akan mensubstitusi permintaan listrik dari PLN, sehingga beban subsidi pelanggan industri juga berkurang," kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (28/7).

Berdasarkan studi pasar yang dilakukan IESR, minat masyarakat menggunakan PLTS atap terbilang tinggi. Mereka mengharapkan kebijakan yang mempermudah perizinan dan proses instalasi serta keekonomian yang memadai.

Fabby mengungkapkan dengan tarif net metering satu banding satu akan mempercepat waktu pengembalian investasi PLTS atap dari sebelumnya 10 tahun menjadi kurang dari delapan tahun. "Ketentuan itu akan mempengaruhi pemasukan atau revenue PLN, tapi tidak signifikan dibandingkan dengan dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial dari berkembangnya PLTS atap," ujarnya.

Simulasi IESR menunjukkan apabila total instalasi satu gigawatt peak PLTS atap, pemasukan PLN hanya akan berkurang 0,58 persen dengan tarif net metering satu banding satu dan 0,52 persen dengan tarif 0,65 banding satu. Sebaliknya, PLN akan diuntungkan dengan bertambahnya jumlah PLTS atap, sehingga tidak perlu berinvestasi lebih besar untuk membangun pembangkit energi terbarukan.

Pembangunan PLTS atap yang dilakukan masif oleh masyarakat dan industri akan mempercepat target PLN dalam mewujudkan energi terbarukan pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) hingga mengurangi biaya bahan bakar yang dipakai pada pembangkit listrik tenaga gas.

Dalam proses revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap oleh Konsumen PLN, pemerintah menyatakan akan memperbaiki ketentuan, antara lain mengubah tarif ekspor impor listrik net metering menjadi satu banding satu, memperpanjang periode menihilkan kelebihan akumulasi selisih tagihan menjadi enam bulan, dan mewajibkan mekanisme pelayanan berbasis aplikasi.

Selanjutnya, revisi peraturan itu juga akan memperluas perizinan pemasangan PLTS atap kepada pelanggan di wilayah usaha non-PLN, mempersingkat proses perizinan, serta membangun pusat pengaduan sistem PLTS atap.

Pemanfaatan Teknologi

Pada kesempatan lain, kebutuhan energi Indonesia terus meningkat hingga saat ini. Sayangnya, penyediaannya masih didominasi energi fosil. Di sisi lain, Indonesia juga berkomitmen untuk turut berkontribusi dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2030 sebesar 29 persen yang diperkuat melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) pada bulan November 2016.

Karena itu, pengembangan teknologi energi baru terbarukan (EBT) terus didorong sebagaimana amanat dari Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

"Pengembangan EBT ini tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, tetapi harus dilaksanakan secara bersama-sama dengan melibatkan stakeholder terkait terutama yang terkait dengan pengelolaan energi yaitu PLN dan Pertamina dengan didukung oleh lembaga penyelenggara ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) nasional," jelas Kepala BPPT Hammam Riza.

Hammam menyebut peran ekosistem teknologi di bidang energi akan menjadi kunci keberhasilan Indonesia mencapai target pemanfaatan EBT, terlebih biaya pendirian infrastrukturnya memiliki tren menurun setiap tahunnya. "Karena itu, peluang ini harus dimanfaatkan dan memiliki potensi yang sangat besar jika dikelola secara maksimal," ucapnya.

Baca Juga: