Nilai pengembalian tagihan BLBI tidak bisa ditawar-tawar. Nilainya harus sama dengan kerugian yang dialami negara, termasuk memperhitungkan carrying cost yang besarnya 20 persen.
Harapan publik pada Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI (Satgas BLBI) yang awalnya begitu tinggi, kini mulai merosot seiring dengan langkah-langkahnya yang banyak menimbulkan pertanyaan. Hal ini dipicu pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopohukam), Mahfud MD soal piutang BLBI awal bulan ini yang benar-benar mengagetkan publik.
Bak petir di siang bolong, setelah berkali-kali mengancam mempidanakan debitor/obligor nakal yang tidak kooperatif membayar utangnya, tiba-tiba Mahfud yang juga Ketua Dewan Pengarah Satgas BLBI menyebut sejumlah debitor/obligor besar, termasuk Anthony Salim sebagai obligor terbesar, sudah melunasi utangnya. Padahal, baru beberapa waktu lalu Satgas BLBI menyatakan total piutang negara yang hendak ditagih masih mencapai sekitar 110 triliun rupiah.
Pada akhir Oktober lalu, Satgas melaporkan sudah menyetorkan ke kas negara dari penagihan piutang BLBI sebesar 2,4 miliar rupiah dan 7,6 juta dollar AS serta memblokir aset 339 unit tanah milik para pengemplang.
Kalau sudah lunas, kapan pelunasannya, berapa besar yang dibayar, dan dimana membayarnya?
Pernyataan Satgas ini jelas tidak transparan dan tidak adil karena hanya mengejar debitor atau obligor kecil. Mereka diumbar ke publik agar malu sehingga mau membayar utangnya. Sedangkan yang kelas kakap, termasuk yang terbesar, terkesan diberi hak keistimewaan dan nama-nama mereka tidak pernah disebut termasuk jumlah utangnya dan berapa besar yang sudah dibayar serta berapa besar yang tersisa.
Satgas BLBI tidak boleh hanya mengandalkan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk membebaskan obligor tertentu. Karena faktanya ada audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2017 yang menyatakan masalah dalam penerbitan SKL. Bukti pelunasan itu harus mengacu pada audit BPK. Begitu juga SKL harus disertai bukti pelunasan utang, misal penjualan aset-aset yang disita.
Peran BPK sangat penting untuk melakuan audit dan memastikan SKL sudah benar penerbitannya. Seharusnya kita menggunakan hasil audit lembaga yang profesional, yaitu BPK. Lembaga yang jelas hitungannya valid dan bisa dipertanggungjawabkan, dan sesuai tupoksinya.
Kewenangan BPK sudah diatur oleh undang-undang, hitungannya bisa dipercaya dan jelas lebih menguntungkan untuk mengembalikan kerugian negara. Tidak ada alasan untuk mencari acuan lain. Satgas BLBI harus bertindak profesional dengan mengacu hasil audit yang profesional pula.
Penagihan piutang negara sesuai hasil audit BPK akan membuat kredibilitas Satgas BLBI terjaga ketimbang berdasar SKL yang diterbitkan Badan Penyehatan Perbankan Nasionbal (BPPN) yang sudah bubar. Di Audit BPK jelas dicantumkan piutang negara dari BLBI jumlahnya ratusan triliun rupiah. Bila ada pelunasan piutang tanpa menggunakan audit BPK bisa diduga ada yang tidak beres dengan kinerja Satgas.
Nilai pengembalian tagihan BLBI tidak bisa ditawar-tawar apalagi jika selisihnya sangat besar dengan hitungan BPK. Nilainya harus sama dengan kerugian yang dialami negara, termasuk memperhitungkan carrying cost yang besarnya 20 persen.