NEW YORK - Lembaga pemeringkat Fitch Rating menyatakan usulan dari negara-negara anggota kepada Dana Moneter Internasional (IMF) untuk meningkatkan pemberian pinjaman 500 miliar dollar Amerika Serikat (AS) kepada negara-negara sedang berkembang maupun negara kurang berkembang, tidak menjamin prospek pembayaran utang mereka menjadi sehat.

Dalam keterangan lembaga tersebut pada Kamis (18/3) waktu setempat menyebutkan rencana pemberian pinjaman itu untuk menghadapi dampak jangka pendek dari pandemi Covid-19.

Disebutkan, kelompok negara-negara maju (G7) saat ini sedang membahas proposal untuk meningkatkan cadangan IMF yang akan digunakan sebagai bantuan kepada negara-negara untuk menghadapi pandemi, tetapi sejauh ini ada kesepakatan yang dicapai.

G7 sendiri dijadwalkan melakukan pertemuan pada Jumat di mana topik bantuan untuk negara-negara berpenghasilan rendah diharapkan akan dibahas.

Fitch bahkan melihat usulan peningkatan cadangan keuangan tersebut bisa mencapai 650 miliar dollar AS yang akan digunakan membantu negara-negara untuk menangani tekanan pembiayaan eksternal yang mendesak, tetapi tidak cukup untuk mengurangi tantangan pembayaran utang yang lebih luas.

Bulan lalu, analisis Morgan Stanley melihat berdasarkan data IMF, Venezuela akan menjadi negara yang akan mendapat alokasi dana terbesar diikuti oleh Zambia, Suriname, dan Bahrain.

Dalam hal peningkatan cadangan, analisis Citi, bulan lalu, menunjukkan persentase peningkatan terbesar sejauh ini adalah bantuan untuk Zimbabwe, diikuti oleh Chad, Zambia, dan Ekuador.

Jurang Resesi

Menanggapi potensi pinjaman ke negara-negara yang mengalami kesulitan fiskal akibat Covid-19, Pakar Ekonomi Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan penggelontoran dana memang tidak menjamin prospek pembayaran utang akan sehat.

Namun demikian, bantuan tersebut bisa lebih mendorong perekonomian tidak jatuh ke dalam jurang resesi yang lebih dalam. Oleh karena itu, dibutuhkan tambahan dana untuk kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif.

"Apabila negara kembali pada pertumbuhan normalnya atau lebih tinggi lagi maka kemampuan membayar utang melalui pajak atau cetak utang baru dengan bunga lebih rendah," kata Suhartoko.

Sebab itu, kata Suhartoko, pemberian utang dari IMF ini perlu disikapi dengan manajemen utang pemerintah dalam jangka menengah dan panjang dengan memperhatikan sebaran maturity utang tersebut.

Sementara itu, Pakar Ekonomi dari Universitas Diponegoro Semarang, Esther Sri Astuti, menegaskan butuh waktu lama agar perekonomian bisa pulih. Hal itu disebabkan pandemi melumpuhkan sisi supply (produksi berkurang) dan sisi permintaan (daya beli rendah).

"Kondisi pandemi ini jauh lebih parah, masih mendingan krisis finansial tahun 1997. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah mulai berhati-hati karena total utang luar negeri Indonesia sudah diambang batas," kata Esther.

Konsekuensi utang lebih besar berarti pertama, ruang fiskal makin sempit karena cicilan utang makin besar. Kedua, jangka waktu lebih lama untuk bayar utang akan membebani generasi penerus.

Ketiga, alokasi dana untuk pembangunan juga berkurang karena dana APBN harus dialokasikan untuk cicilan utang. "Pemerintah harus lebih efisien dengan memangkas anggaran di tengah jalan," tutup Esther.

n ers/E-9

Baca Juga: