Pascapemilihan umum serentak, peta politik terus berubah mencari penyesuaian. Ini termasuk peta politik di parlemen, khususnya soal komposisi merebut kursi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Meski secara politis pengaruh dan kekuasaan MPR sudah terbatas, tidak seperti di masa Orde Baru yang sangat besar kewenangannya, prestise pimpinan MPR masih dinilai bergengsi. Belum lagi berbagai fasilitas yang menyertainya, maka tidak mengherankan banyak parpol berebut kursi pimpinan MPR.

Sesuai dengan konsensus politik, kursi pimpinan MPR diberikan secara berurutan mulai dari partai peraih suara terbanyak di parlemen hingga batas kursi pimpinan yang tersedia. Periode lalu, kursi pimpinan MPR terdiri atas satu ketua dan tujuh wakil, satu di antaranya dari DPD. Mereka adalah Ketua Zulkifli Hasan (PAN) dan para wakil: Mahyudin (Golkar), Evert Ernest Mangindaan (Demokrat), Hidayat Nur Wahid (PKS), Oesman Sapta Odang (DPD), Ahmad Muzani (Gerindra), Ahmad Basarah (PDI-P), dan Muhaimin Iskandar (PKB).

Maka, pada periode DPR 2019-2024 diusulkan menjadi 10 orang. Usul datang dari Wakil Sekjen PAN, Saleh Partaonan Satu, dari DPD dan sembilan mewakili fraksi-fraksi. Ketua bisa dimusyawarahkan oleh para ketua umum partai. Saleh, yang merupakan Wakil Ketua Komisi XI DPR, tidak setuju posisi ketua MPR di-voting atau pemilihan berdasarkan suara terbanyak. Dia usul secara musyawarah dan mufakat.

Tentu saja usulan menambah jumlah pimpinan MPR ini menimbulkan pro-kontra di kalangan politisi dan penyelenggara negara. Penambahan tak relevan dan hanya akan memberatkan anggaran. Belum lagi tugas dan kewenangan MPR sudah sangat terbatas, sehingga hanya menghamburkan anggaran.

Kewenangan MPR setelah amendemen UUD 1945, Pasal 4, antara lain mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian, melantik presiden dan/atau wakil presiden. Tugas lain, memutuskan usul DPR untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden. Hal ini setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran.

Bentuk pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat.

Dengan kewenangan yang kecil, maka tugas pimpinan MPR cukup ringan. Namun demikian, hasrat kuat parpol untuk menduduki kursi pimpinan tetap tinggi mengingat fasilitas yang diberikan negara cukup besar. Apalagi dalam periode mendatang, sudah ada rencana dari partai besar seperti PDI-P untuk amendemen terbatas UUD 1945 untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pemandu kebijakan negara, meski presiden dan wapres dipilih secara langsung.

MPR sebagai lembaga tinggi negara harus dipandang sebagai salah satu institusi untuk memperlancar proses dan mekanisme kehidupan kenegaraan, bukan tempat mencari jabatan dan fasilitas. MPR harus dijadikan lembaga terhormat yang secara simbolis akan melantik presiden dan wakil presiden yang dipilih rakyat dalam pemilihan langsung.

Jika lembaga ini diperbanyak pimpinanya hanya untuk memenuhi keinginan politik mencari jabatan, citra MPR akan runtuh. Rakyat akan melihatnya sebagai lelucon politik belaka. Bayangkan, 10 pimpinan MPR berdiri memimpin sidang paripurna pelantikan presiden dan wapres.

Jadi sekali lagi, kearifan dan kesantunan politisi dalam menentukan kursi pimpinan MPR harus diingatkan. Keuangan negara tengah dalam keadaan sulit, perlu penghematan. Lembaga tinggi negara, baik MPR, DPR, DPD, maupun lainnya harus memberi contoh cara bernegara yang baik di tengah situasi sulit saat ini.

Baca Juga: