JAKARTA - Untuk mengatasi masalah sampah di wilayah Jawa Barat (Jabar), pemerintah kabupaten/kota di provinsi ini harus mengubah paradigma pengelolaan sampah. Paradigma baru yakni pilah kumpul olah atau kumpul pilah olah mesti dijalankan. Intinya ada pemilahan dan pengolahan dari sumber, yang dilakukan secara partisipatif dan kolaboratif yakni pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.

"Semua lembaga, semua orang yang menghasilkan sampah harus bertanggung jawab untuk memilah dan mengolah dengan multi-teknologi ramah lingkungan," kata Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Bagong Suyoto dalam pernyataan tertulisnya yang diterima Koran Jakarta, Rabu (4/8).

Padahal, tambah dia, Gubernur Jabar Mochmad Ridwan Kamil sudah mengeluarkan Surat Edaran No 130/PBLS.04/Perek tentang Gerakan Pilah Sampah dari Sumber. Surat edaran tersebut dalam rangka pelaksanaan Perpres No. 97/2017 dan Pergub Jabar No. 91/2018, yang memuat target pengurangan sampah sebesar 30% dan penanganan sampah sebesar 70% pada tahun 2025. Surat edaran tersebut tertanggal 21 Juli 2021.

Guna memenuhi target tersebut, tambah Bagong, Gubernur Jabar meminta pada Bupai/Walikota untuk melakukan gerakan pilah sampah dari sumbernya melalui sejumlah langkah.

Pertama, tambah dia, melakukan sosisialisasi pemilahan sampah mulai dari sumbernya baik organik, sampah an-organik, maupun sampah spesifik (B3), dan didukung dengan gerakan moral masyarakat dalam pengelolaan sampah melalui pendekataan keagamaan.

Kedua, tambah Bagong, mendorong dan memastikan Bank Sampah berjalan di setiap RT/RW/kelurahan/Desa (Bank Sampah Unit) dan Kecamatan (Bank sampah Induk). Ketiga, menyediakan fasilitas tempat sampah terpilah, minimal terdiri dari 3 (tiga) kategori yaitu dapat dikomposkan, dapat didaur ulang, dan residu, di lokasi-lokasi yang strategis beserta penyediaan alat angkutnya.

Keempat, tamba dia, melakukan kerja sama pengelolaan sampah dengan Bank Sampah dan/atau Aplikator. Kelima, menyiapkan penanganan yang memadai, antara lain untuk penyiapan lahan dan biaya operasional.

Selain itu, Bagong mengingatkan, ada pemahaman sampah merupakan sumber daya yang tidak siap pakai untuk bahan produksi langsung. Sampah juga merupakan sesuatu yang menjijikan dan dianggap tidak berguna lagi dan dibuang begitu saja. Yang penting jauh dari pekarangan rumah. Sehingga timbul sindrom NIMBY, Not In My Back Yard. NIMBY menjadi sindrom di sejumlah negara di dunia.

Sekarang ini, tambah Bagong, sampah sudah menjadi permasalahan internasional, nasional, dan daerah. Bahkan, wilayah Jabodetabek dan Jabar banyak yang kesulitan menangani sampah karena berbagai faktor teknis dan non-teknis. Dan sekarang cenderung mengalami situasi yang kompleks dan rumit. Sejumlah tempat pembuangan akhir (TPA) sudah penuh sampah dan menuju darurat, seperti TPA Burangkeng, TPA Sumrubatu, TPST Bantargebang, TPA Galuga, TPA Jalupang, dan lain-lain. Bahkan, sejumlah kabupaten/kota mencari TPA baru, seperti Kabupaten Subang.

Selain itu, tambah dia, karena rendahnya tingkat pelayanan sampah mengakibatkan timbul titik-titik pembuangan sampah liar alias ilegal. Untuk wilayah Jabar masih ditemui banyak lokasi pembuangan sampah liar. Misal di Kabupaten Bekasi terdapat 71 sampai 115 pembuangan sampah liar.

Situasi tersebut, tambah Bagong, tak jauh yang dialami Kabupaten Bogor. Belum lagi sampah yang dibuang sembarangan, seperti lahan kosong, drainase, penggir jalan, daerah aliran sungai (DAS), badan kali. Akhirnya sampah, terutama plastik, styrefoam, dan lain-lain terbawa air menuju pesisir dan laut. Dampaknya mengancam biota dan ecosistem air.

Dikatakan, Kabupaten/Kota dalam pengelolaan sampah masih mengandalkan paradigma konvensional yaitu kumpul angkut buang. Ujungnya penyelesaian akhir di TPA. Sampah yang dikirim ke TPA merupakan sampah tak terpilah sangat complicated. Bahkan, pada masa pandemi Covid-19 masih ditemui limbah kategorial limbah beracun dan berbahaya (B3) dan limbah medis dibuang di TPA. Limbah tersebut dicampur dengan sampah rumah tangga.

Selanjutnya, tambah Bagong, sampah hanya ditumpuk dan ditumpuk secara terbuka (open dumping), akibatnya terjadi longsor dan kebakaran di musim kemarau. Kita masih cinta menumpuk dan menumpuk sampah. Pendekatan lama hanya memindahkan masalah.

Baca Juga: