JAKARTA - Peternak unggas mandiri mengeluhkan usahanya yang lama terpuruk. Pasalnya, harga sarana produksi peternak (sapronak) selalu melebihi harga jual ayam hidup.
Kondisi tersebut menyebabkan peternak akan selalu merugi. Break event point (BEP) atau titik impas antara biaya produksi dan jual peternak unggas mandiri di 21.000 rupiah, sementara harga jual ayam hidup saat ini 17.000 rupiah per kilogram (kg).
"Input atau sarana produksi ternak (sapronak) berupa DOC (day old chicken) dan pakan yang tinggi tidak mengikuti fluktuasi harga jual ayam hidup. Kami menuntut mendapatkan DOC dan sapronak secara berkesinambungan dengan harga yang wajar, karena itu merupakan menjadi komponen penting pembentuk harga pokok produksi," ujar Ketua Komunitas Peternak Unggas Nasional (KPUN), Alvino Antonio, di Jakarta, Rabu (7/9).
Alvino memimpin aksi protes menyikapi masalah yang dihadapi peternak. Aksi ini dihadiri peternak se-Jawa-Bali yang dilakukan di Istana Negara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha, Jakarta, Rabu, (7/9). Dalam aksinya, KPUN juga mendesak pemerintah menyusun Peraturan Pemerintah (PP) Perlindungan Peternak.
Dia menjelaskan, selama pandemi, peternak unggas mandiri tidak pernah mendapat insentif dalam bentuk apa pun dari pemerintah sehingga populasi peternak pun semakin berkurang. Banyak peternak gulung tikar karena harga jual ayam hidup lebih sering di bawah harga pokok produksi (HPP).
Jumlah peternak Mandiri nasional terdegradasi terhitung sejak 2000-an sebanyak 85 persen."Pada 2000-an jumlah peternak sebanyak 2,5 juta peternak dengan asumsi 90 persen populasi nasional dikuasai oleh peternak rakyat UMKM. Sekarang tinggal 35.280 kepala keluarga (KK) peternak," ujar Alvino.
Standardisasi Pakan
Karena itu, pihaknya mendesak pemerintah segera menyusun PP Perlindungan Peternak dengan mengusulkan lakukan kontrol harga input atau sapronak. Pemerintah segera membuat standardisasi SNI untuk pakan dan DOC.