» Penurunan harga yang diterima petani karena harga gabah kering panen jauh di bawah HPP.

» Pembangunan pertanian harus mengangkat derajat hidup petani agar ketersediaan pangan berkelanjutan.

JAKARTA - Di tengah meningkatnya produksi tanaman pangan, para petani malah kembali menderita kerugian karena hasil penjualan produksi mereka lebih rendah dibanding biaya yang mereka keluarkan. Kerugian petani itu tecermin dari Indeks Nilai Tukar Petani (NTP) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (1/3).

Kepala BPS mengatakan NTP nasional pada Februari 2021 sebesar 103,10 atau turun tipis sebesar 0,15 persen dibandingkan NTP Januari 2021. "Kalau kita lihat per subsektor, ada dua subsektor yang mengalami penurunan NTP. Pertama adalah tanaman pangan, kedua adalah peternakan," kata Suhariyanto dalam video conference di Jakarta.

NTP Tanaman Pangan, jelasnya, mengalami penurunan 0,84 persen sehingga angkanya di bawah 100 yakni 99,21. Hal itu karena indeks harga yang diterima petani mengalami penurunan, sementara indeks yang dibayar petani mengalami peningkatan sebesar 0,26 persen.

"Penurunan harga yang diterima petani ini terjadi karena penurunan harga gabah, sudah banyak daerah yang memasuki masa panen," ujar Suhariyanto.

Kemudian untuk NTP Peternakan, angkanya mengalami penurunan 0,33 persen karena indeks harga yang diterima peternak turun 0,17 persen dan indeks harga yang dibayar naik 0,17 persen.

"Komoditas yang paling dominan memengaruhi penurunan indeks harga yang diterima peternak adalah penurunan harga ayam ras, daging, dan telur yang menyebabkan terjadinya deflasi pada Februari 2021," katanya.

NTP adalah indeks perbandingan harga yang diterima petani (It) terhadap indeks harga yang dibayar petani (Ib). NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan. NTP yang menguntungkan petani, jika berada di level 120.

NTP juga menunjukkan daya tukar (terms of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.

Menanggapi penurunan NTP itu, Koordinasi Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan hal itu berkaitan dengan penurunan harga di sebagian wilayah seperti Ngawi dan Bojonegoro yang sudah memasuki musim panen.

Meningkatnya produksi tersebut menyebabkan harga gabah kering panen hanya 3.800 rupiah per kilogram (kg) atau jauh di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) 4.250 per kg. Penurunan harga gabah juga berpengaruh terhadap harga beras medium yang turun menjadi 9.500 rupiah per kg.

"Orientasi pemerintah yang hanya menggenjot peningkatan produksi perlu dikoreksi," kata Said.

Pembangunan pertanian, jelas Said, tujuan akhirnya adalah peningkatan derajat kehidupan petani seiring dengan kenaikan produksi, sehingga ketersediaan pangan dapat berlangsung secara berkelanjutan.

Reorientasi program dan budgeting perlu dilakukan dengan menarik investasi publik hingga ke sisi hilir. Jangan berhenti di hulu seperti selama ini berupa penyediaan input dan infrastruktur pendukung produksi.

"Penguatan pasar produk petani, fasilitas pendukung pascapanen sampai dengan referensi harga yang menguntungkan juga perlu dilakukan," kata Said.

Belum Berpihak

Secara terpisah, Pakar Pertanian dari Universitas Trunojoyo Bangkalan, Madura, Ihsannudin, mengatakan turunnya NTP di tengah kenaikan produksi disebabkan mekanisme pasar produk pertanian yang belum berpihak pada petani.

"Faktor utama adalah belum terintegrasinya data supply-demand sebuah produk pertanian. Sementara di sisi lain, upaya penyerapan produk yang dilakukan lembaga penyangga pertanian, sering kali masih di bawah harga pasar yang menyebabkan keengganan petani untuk menjual ke lembaga penyangga tersebut," kata Ihsannudin.

Dia juga menyinyalir kerap terjadi konflik kepentingan karena leading sector ingin menunjukkan kinerja peningkatan produksi. Sementara itu lembaga lainnya ingin mengarahkan kesediaan produk yang tersedia dengan harga murah atau consumer preference.

n ers/SB/E-9

Baca Juga: