Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tengah menyusun peta jalan pendidikan (PJP).

Dari draf yang beredar, PJP diperuntukkan untuk rentang 2020-2035. PJP tersebut bakal menjadi panduan bagi berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Dalam perjalanannya, PJP banyak menimbulkan kesalahpahaman. Sebagai contoh, beberapa pihak serta organisasi masyarakat meresahkan peniadaan kata "Agama" dalam PJP tersebut.

Untuk mengupas terkait perkembangan PJP, Koran Jakarta mewawancarai Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda. Berikut petikan wawancaranya.

Sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja) PJP dari DPR, bagaimana panja mengawal PJP ini?

Rapat Panja PJP ini berlangsung selama tiga masa sidang. Kepentingan kami mengundang banyak pihak untuk mendapat masukan dari draf yang disusun Kemendikbud.

Kami punya tanggung jawab politik dan moral karena peta jalan pendidikan ini Komisi X yang minta Kemendikbud untuk menyusun. Setelah kami dapat draf dari Kemendikbud, kami follow up dalam bentuk Panja Peta Jalan Pendidikan.

Ada tujuh klaster yang menjadi fokus Panja Peta Jalan Pendidikan, meliputi aspek umum, filosofis, yuridis, sosiologis, prosedur kebijakan dan tata kelola pendidikan, anggaran, dan keterlibatan masyarakat.

Apakah rentang waktu dalam draf PJP Kemendikbud ini cukup untuk meningkatkan kualitas pendidikan?

Panja juga meminta masa pemberlakuan atau jangka waktu Peta Jalan Pendidikan ditinjau kembali. Peta Jalan Pendidikan tidak hanya untuk 2035, melainkan sampai 2045, sesuai waktu 100 tahun Indonesia Merdeka. Jadi, selaras dengan semangat dan hasil kajian akademik, baik oleh kementerian/lembaga lain, maupun perguruan tinggi mengenai substansi pentingnya hal-hal yang perlu disiapkan "Menuju Indonesia Emas".

Menurut Anda, apakah PJP yang disusun ini sudah sesuai secara substansi?

Supaya publik paham, dokumen PJP Kemendikbud berjumlah 73 halaman masih draf. Maka itu, Panja menyimpulkan PJP Kemendikbud sebagai prakonsep dan belum memasukkan substansi filsafat pendidikan dan belum merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pendidikan dan kebudayaan.

Kami menilai PJP dari Kemendikbud ini belum sejalan dengan visi negara. Khususnya, yang termuat dalam pembukaan alinea keempat UUD Negara Republik Indonesia (NRI) tahun 1945, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta Pasal 31 dan Pasal 32 UUD 1945.

Juga belum ada proses penggalian potensi diri untuk memperdalam dan mengembangkan kesadaran kemanusiaan menjadi manusia yang utuh dan menyatu dengan Tuhan, sesama manusia, alam, dan makhluk lainnya. Hal tersebut berpotensi membuat pendidikan terserabut dari potensi, akar budaya, dan dimensi kesejarahan bangsa.

Di sisi lain, PJP ini juga harus mampu membuat pendidikan mengoreksi orientasi kepada budaya luar yang bertentangan dengan Pancasila, seperti ideologi transnasional dalam bentuk kapitalisme, liberalisme, sosialisme, radikalisme, sekularisme, chauvinisme, dan LGBT.

Bagaimana pendapat Anda terkait profil pelajar Pancasila sebagai salah satu tujuan dari PJP ini?

Profil pelajar Pancasila sebagai salah satu keluaran yang akan dihasilkan Peta Jalan Pendidikan masih memerlukan kajian mendalam, baik dari aspek penentuan ciri utama, seperti beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhak mulia, mandiri, bernalar kritis, kebinekaan global, gotong royong, dan kreatif. Selain itu, penggunaan istilah ini mengandung kontradiksi dalam terminologinya.

Apakah PJP dari Kemendikbud sudah memiliki arah jelas dalam memajukan pendidikan?

PJP ini belum memiliki arah yang jelas. Utamanya, dalam merespons arah ekonomi atau pertimbangan industri strategis Indonesia. Arah itu perlu agar pendidikan Indonesia lebih terarah dan berkelanjutan.

n m ma'aruf/P-4

Baca Juga: