Pemain sepak bola terancam memiliki peningkatan risiko mengidap Alzheimer atau penyakit demensia lainnya. Namun, tidak bagi penjaga gawang, ungkap hasil penelitian di Swedia.

PARIS - Para pemain sepak bola lebih mungkin mengidap penyakit demensia seperti Alzheimer, dibandingkan dengan populasi penduduk Bumi lainnya, ungkap sebuah studi baru yang dirilis pada Jumat (17/3).

Studi baru yang diterbitkan The Lancet itu berisikan penelitian yang membandingkan catatan medis lebih dari 6.000 pemain sepak bola pria di divisi teratas Swedia, dengan lebih dari 56.000 non pesepak bola dari tahun 1924 hingga 2019.

Para peneliti dari Institut Karolinska di Swedia tersebut menemukan fakta bahwa para pemain sepak bola 1,5 kali lebih mungkin terkena penyakit Alzheimer dan jenis penyakit demensia lainnya, daripada kelompok kontrol non pesepak bola.

Ilmuwan Peter Ueda dari Karolinska Institutet yang memimpin penelitian, mengatakan hasil penelitian itu menunjukkan bahwa para pemain sepak bola elit pria di dunia memiliki risiko serius mengalami gangguan otak degeneratif.

Namun, risiko terkena demensia tidak terjadi pada penjaga gawang yang jarang menyundul bola.

"Salah satu hipotesisnya adalah bahwa menyundul bola dengan kepala secara berulang-ulang merupakan alasan mengapa para pemain sepak bola memiliki risiko yang lebih besar, dan melihat perbedaan antara penjaga gawang dan para pemain depan mendukung teori ini," kata Ueda.

Gill Livingston, profesor di bidang psikiatri lansia di University College London mengatakan bahwa penelitian berkualitas tinggi itu menambah bukti yang meyakinkan bahwa pemain sepak bola yang kepalanya bersentuhan dengan bola memiliki risiko lebih tinggi terkena demensia.

"Kita perlu mengambil tindakan demi melindungi kepala dan otak manusia agar tetap bisa berolahraga," kata Livingston, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.

Namun, studi terbaru ini tidak menemukan adanya peningkatan risiko penyakit neuron motorik seperti ALS di antara para pemain sepak bola. Bahkan, terlihat risiko yang sedikit lebih rendah untuk mengidap penyakit Parkinson.

Ueda mengatakan penelitian observasional ini tidak dapat menunjukkan bahwa bermain sepak bola secara langsung dapat menyebabkan demensia. Udea juga menambahkan bahwa hasil temuan penelitian tersebut tidak dapat diperluas ke pemain sepak bola perempuan, pemain amatir, atau bahkan pemain sepak bola usia muda.

"Semakin banyak suara yang menyerukan agar olahraga memperkenalkan lebih banyak upaya untuk melindungi kesehatan otak dan penelitian kami dapat membantu dalam pengambilan keputusan untuk membatasi risikonya," ungkap Ueda.

Penelitian tentang cedera kepala dalam olahraga dan efek samping pascakarier, topik tersebut baru-baru ini menyebar luas, terutama dalam olahraga rugbi, sepak bola asal Amerika Serikat.

Tahun lalu, sebuah penelitian yang dipimpin Universitas Glasgow menunjukkan bahwa mantan pemain rugbi memiliki kemungkinan 15 kali lebih besar terkena penyakit saraf motorik daripada populasi manusia biasa.

Sebuah studi dari Universitas Boston tahun 2017 juga menemukan fakta bahwa semua kecuali satu dari 111 mantan pemain National Football League (NFL) atau Liga Sepak Bola Nasional yang telah meninggal, yang menyumbangkan otaknya untuk penelitian tersebut, menunjukkan bukti adanya Chronic Traumatic Encephalopathy (CTE) atau Ensefalopati Traumatik Kronis.

CTE merupakan penyakit cedera otak traumatis yang disebabkan oleh adanya beberapa kali cedera kepala yang dapat menyebabkan perubahan perilaku dan penyakit demensia jangka panjang.

Kini, pihak NFL memiliki protokol terhadap cedera otak atau gegar otak saat pertandingan. Protokol tersebut ditinjau setiap tahun untuk memastikan bahwa para pemain menerima perawatan yang mencerminkan konsensus medis terkini tentang identifikasi, diagnosis, dan pengobatan gegar otak. AFP/DW/I-1

Baca Juga: