SEMARANG - Praktisi dari Rumah Duta Revolusi Mental Dinas Pendidikan Kota Semarang, Putri Marlenny, memaparkan ada beberapa penyebab terjadinya tindak kekerasan bullying di sekolah bersama atau pondok pesantren, salah satunya banyak disebabkan oleh sumber daya manusia (SDM).
"Dari pengalaman kami ketika melakukan intervensi di satuan pendidikan berasrama atau pesantren, ternyata sumber daya manusianya," ujar Putri, di Semarang, Selasa (6/12).
Dia mengatakan, banyak SDM di pesantren atau sekolah bersama belum memiliki pemahaman yang sama tentang apa itu arti kekerasan. Mereka tidak mengetahui pemenuhan hak anak dan intervensi yang harus dilakukan jika terjadi kekerasan dan bullying dan upaya pencegahannya.
"Seluruh warga di satuan pendidikan berasrama atau ponpes harus sadar bahwa tindak kekerasan adalah suatu hal yang sangat serius dan harus ditangani dengan mengedepankan perspektif anak sebagai korban," jelasnya.
Dia mengungkapkan, perlu intervensi khusus untuk mengatasi hal tersebut. Prinsip 7K dalam pencegahan dan penanganan kekerasan atau perundungan bisa dilakukan yaitu kesadaran, kesediaan, komitmen, konsistensi, kerjasama dan keterbukaan.
Dia menambahkan, selain SDM penyebab lain adalah kurangnya sarana dan sumber daya dalam pengawasan kegiatan peserta didik atau santri, lingkungan pertemanan yang negative, budaya bullying turun temurun, kebijakan atau regulasi sekolah berasrama atau pondok pesantren yang belum jelas tentang pencegahan dan penanganan tindak kekerasan, faktor individu seperti balas dendam, karakter reaktif, agresif, ingin berkuasa, dan lainnya serta anggapan tidak sopan berdasarkan norma kelompok tertentu.
"Segala hal tindak kekerasan bullying di sekolah berasrama merupakan masalah yang harus segera ditangani secara tuntas," tandasnya.
Bentuk Perundungan
Plt Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Anggin Nuzula Rahma menyebut data KPAI sejak tahun 2011-2019 mencatat ada 574 anak laki-laki yang menjadi korban bullying, 425 anak perempuan jadi korban bullying di sekolah. Sedangkan sepanjang tahun 2021 setidaknya ada 17 kasus perundungan yang terjadi di berbagai jenjang di satuan Pendidikan.
"Banyaknya kasus bullying yang terjadi di satuan pendidikan, bukan hanya terjadi sesama siswa, tapi dapat juga terjadi pada para pendidik dan tenaga kependidikan. Tidak sedikit guru yang melakukan kekerasan dengan tujuan pendisiplinan," katanya.
Anggin menjelaskan perundungan dapat menyebabkan trauma baik fisik maupun psikologis yang punya dampak buruk yang besar bagi anak. Di samping itu, hadirnya media sosial dan internet yang dekat dengan anak ternyata menjadi ruang baru bagi tumbuhnya Cyberbullying atau perundungan di ranah digital.
"Cyberbullying ini yang juga marak terjadi saat ini. Oleh karena itu, pencegahan kekerasan melalui satuan pendidikan bukan hanya dilakukan melalui slogan-slogan yang ada, tapi harus dilakukan secara menyeluruh melalui proses peneladanan yang dilakukan dalam kegiatan sehari-hari," terangnya.