Fosil daun palem (Sabalites sp) yang ditemukan di Alaska dan kini tersimpan di Museum Sejarah Alam Nasional Smithsonian menjadi petunjuk perubahan suhu Bumi. Dari fosil ini peneliti mendapat­kan petunjuk tentang suhu permukaan rata-rata selama 500 juta tahun.

Fosil daun palem (Sabalites sp) yang ditemukan di Alaska dan kini tersimpan di Museum Sejarah Alam Nasional Smithsonian menjadi petunjuk perubahan suhu Bumi. Dari fosil ini peneliti mendapatkan petunjuk tentang suhu permukaan rata-rata selama 500 juta tahun.

Dahulu banyak tanaman, termasuk palem, tumbuh di tempat-tempat seperti Alaska yang bersuhu agak hangat yang memungkinkannya untuk tumbuh. Sekarang tentu saja suhu tersebut terlalu dingin bagi tanaman itu untuk bisa tumbuh.

Sebuah studi baru yang dipublikasikan Science pekan lalu memberi para ilmuwan gambaran tentang kapan Bumi hangat dan kapan Bumi dingin selama 485 juta tahun terakhir.

Saat ini manusia hidup di dunia yang memanas dengan cepat. Volume besar gas rumah kaca yang dihasilkan manusia mendorong iklim Bumi ke keadaan yang semakin hangat. Hal ini diperkirakan akan mengubah kondisi planet seiring dengan naiknya permukaan air laut.

Ahli geologi dan paleontologi telah meneliti catatan fosil untuk waktu yang sama guna memperoleh gambaran tentang masa depan Bumi seiring dengan perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Tetapi mereka tidak memiliki pandangan yang komprehensif tentang bagaimana suhu planet telah naik dan turun seiring waktu.

Kini, dengan menggabungkan data tentang suhu prasejarah dengan model iklim, para peneliti telah menghasilkan sejarah perubahan iklim Bumi yang terus-menerus selama 485 juta tahun. Penelitian baru itu dimulai pada tahun 2018 sebagai bagian dari perencanaan pameran "Deep Time" di Museum Sejarah Alam Nasional Smithsonian.

Ahli paleontologi Smithsonian, Scott Wing, dan Brian Huber, ingin menyertakan kurva suhu dalam tampilan pameran yang akan membantu pengunjung memahami bagaimana iklim Bumi telah berubah selama 539 juta tahun terakhir. Rentang waktu yang dikenal oleh para ahli ini disebut sebagai Fanerozoikum.

Meskipun para peneliti telah mempelajari iklim prasejarah selama beberapa dekade, tidak seorang pun yang menghasilkan pandangan yang andal dan komprehensif tentang suhu permukaan Bumi selama rentang waktu lebih dari 500 juta tahun. Kesenjangan pengetahuan tersebut merupakan peluang untuk menghasilkan gambaran tentang suhu planet Bumi yang terus berubah.

Pada tahun 2018, Wing, Huber, dan rekan-rekannya, mengadakan lokakarya ilmuwan iklim untuk berbagi apa yang mereka ketahui tentang sejarah iklim Bumi. Mereka juga memaparkan bagaimana pandangan gambaran besar tersebut dapat dicapai.

"Ide untuk menciptakan kurva yang kuat dan dapat direproduksi mendapatkan momentum," kata paleoklimatolog Universitas Arizona, Emily Judd, yang bergabung dengan proyek tersebut pada tahun 2020 untuk menghasilkan catatan iklim Bumi yang mendalam menggunakan data geologi dan model iklim.

Para peneliti sebelumnya memperkirakan suhu prasejarah dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa ilmuwan mengamati inti es dengan gelembung udara yang terperangkap di dalamnya untuk memeriksa susunan kimiawi gelembung udara yang menyimpan petunjuk tentang seperti apa iklim kuno pada saat itu.

Isotop oksigen dalam lapisan batuan prasejarah dan fosil juga dapat dibandingkan satu sama lain untuk memperkirakan apakah Bumi lebih hangat atau lebih dingin pada waktu tertentu. Bahkan anatomi daun yang membatu dapat bertindak sebagai proksi suhu.

Daun dengan tepi halus dan ujung tetes panjang yang memungkinkan untuk air mengalir dari permukaannya misalnya, menunjukkan habitat yang hangat dan lembab, sementara tanaman dari iklim yang lebih dingin sering kali memiliki tepi yang lebih bergerigi dan tidak memiliki ujung tetes.

Foraminifera

Ilmuwan dapat mengetahui seperti apa iklim masa lalu di Bumi dengan berbagai cara. Misalnya, peneliti dapat memeriksa kimia cangkang organisme mikroskopis bersel tunggal purba yang disebut foraminifera untuk mempelajari tentang iklim sebelumnya.

Periode waktu dan tempat yang berbeda menawarkan berbagai jenis bukti. Langkah awalnya adalah mengumpulkan semua bukti yang ada bersama-sama. "Bersama dengan beberapa lusin anggota komunitas paleoklimat, kami membangun basis data lebih dari 150.000 perkiraan suhu kuno," kata Judd.

Apa yang telah disusun oleh tim tersebut pada dasarnya merupakan hal yang paling dekat yang dapat dilakukan para ahli untuk mengunjungi lanskap kuno dan mengeluarkan termometer. "Namun, mungkin sulit untuk memahami data ini dalam konteksnya. Seperti mencoba mencari tahu gambar dari puzzle gambar seribu keping ketika Anda hanya memiliki beberapa keping untuk memulai," ungkap Judd.

Para peneliti perlu menyusun teka-teki metaforis tersebut untuk mendapatkan catatan yang lebih akurat tentang suhu permukaan Bumi selama Fanerozoikum. Untuk mengungkap gambaran besarnya, kolaborator proyek dari Universitas Bristol di Inggris, membuat lebih dari 850 simulasi model iklim tentang kondisi selama Fanerozoikum.

Dengan menyatukan estimasi suhu dan simulasi iklim, para peneliti menciptakan pandangan yang lebih luas tentang kapan Bumi kuno relatif lebih hangat atau lebih dingin. Hasilnya mencakup suhu Bumi selama 485 juta tahun terakhir yang sebagian besar adalah pada skala waktu geologi Fanerozoikum, mencakup rentang waktu yang menyaksikan melimpahnya kehidupan hewan di laut, munculnya tumbuhan di daratan, dan beberapa kepunahan massal, walau bagian awal Fanerozoikum memerlukan lebih banyak data sebelum dapat dimasukkan dalam analisis.

Suhu permukaan rata-rata Bumi selama Fanerozoikum berkisar antara antara 51,8 atau 11 derajat Celsius hingga 36 derajat Celsius. Pada masa itu, planet ini lebih sering berada dalam kisaran suhu yang lebih hangat secara keseluruhan daripada dalam suhu dingin.

"Pelajaran utama yang kami peroleh dari kurva ini adalah bahwa suhu permukaan Bumi cukup bervariasi," ungkap Wing seraya menjelaskan bahwa suhu permukaan rata-rata planet Bumi tidak berkutat di dekat titik pusat, tetapi malah berayun ke periode yang sangat panas dan sangat dingin selama 485 juta tahun terakhir.

"Ini akan menjadi catatan yang sangat berguna," kata paleoklimatolog Benjamin Mills dari Universitas Leeds Inggris, yang tidak terlibat dalam studi baru tersebut.

Penelitian ini tidak hanya merupakan perbaikan dari metode sebelumnya, kata dia, tetapi juga menggarisbawahi perlunya memahami betapa sensitifnya iklim Bumi terhadap karbon dioksida, dan untuk menggali sejarah sensitivitas tersebut.

Suhu hangat selama 485 juta tahun terakhir terkait erat dengan karbon dioksida. Ketika karbon dioksida di atmosfer meningkat, suhu pun meningkat. Hubungannya sangat mencolok di sekitar beberapa kepunahan massal, ketika iklim Bumi berubah dengan cepat sebagai respons terhadap peristiwa seperti letusan gunung berapi besar-besaran yang melepaskan volume karbon dioksida yang luar biasa ke atmosfer.

"Suhu global yang stabil dan tingkat karbon dioksida (CO2) sebelum kepunahan sangat penting, karena ini adalah lingkungan tempat organisme pada saat itu beradaptasi dengan baik," kata Mills, dengan perubahan cepat pada karbon dioksida dan suhu menciptakan kondisi berat yang sulit diatasi oleh keanekaragaman hayati Bumi.

Menurut catatan Judd dengan memperhatikan suhu Bumi sangat penting untuk kelangsungan hidup kita sendiri. "Kemampuan Bumi untuk bertahan terhadap perubahan suhu yang dramatis tidak menjamin hal yang sama bagi masyarakat manusia," kata dia. hay/I-1

Baca Juga: