Produksi pangan bakal terancam karena hilangnya keseimbangan lingkungan akibat kebergantungan pada energi kotor.

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) usai mengikuti peringatan HUT ke-77 TNI di Jakarta, Rabu (5/10), menyatakan upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional saat ini dihadapkan pada masalah perubahan iklim.

Indonesia walaupun sudah memiliki modal positif dengan pengakuan dari International Rice Research Institute (IRRI) pada pertengahan Agustus lalu, namun itu jadi pelecut untuk terus memperbaiki ketahanan pangan nasional.

Jokowi mengaku ada kekhawatiran secara pribadi terkait iklim di Tanah Air yang dalam dua tahun terakhir cenderung basah. "Ini kita sudah mendapatkan basah lebih dari dua tahun, yang saya takutkan kalau kita mendapatkan kering juga dalam waktu yang sama," kata Presiden.

Sebab itu, Kepala Negara meminta jajarannya untuk senantiasa mempersiapkan berbagai hal untuk menjaga ketahanan pangan nasional. "Semuanya sudah saya sampaikan harus siap, karena kita rapat urusan pangan dan energi itu setiap minggu. Biasanya enam bulan sekali, ini sudah setiap minggu," kata Jokowi.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan kawasan food estate atau lumbang pangan dikembangkan di sejumlah wilayah untuk memperkuat ketahanan pangan nasional yang berkedaulatan dan mandiri.

"Progres food estate di Kalimantan Tengah yang sedang dikembangkan oleh Kementerian Pertanian sekitar 60.000 hektare di mana tahun 2020 sebanyak 30.000 hektare, di tahun 2021 sebanyak 14.000 hektare, dan ekstensifikasi sebanyak 16.000 hektare," kata Airlangga dalam keterangan tertulisnya.

Begitu pula pengembangan food estate di Sumatera Utara telah terealisasi 7 hektare dari target yang ditetapkan sebanyak 22 hektare. Adapun food estate di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, seluas 559 hektare akan dikembangkan dengan komoditas berupa jagung. Demikian juga kawasan pangan di Kabupaten Sumba Timur sebesar 1.000 hektare dikembangkan untuk sorgum.

Selanjutnya, untuk food estate di Kabupaten Sumba Tengah sebesar 10.000 hektare juga dilakukan pengembangan dengan dukungan pemerintah melalui ketersediaan air dan pupuk. Untuk food estate di Papua didorong ke arah Merauke dan Keerom. Di Merauke mendekati satu juta hektare, sedangkan di Keerom mencapai 3.000 hektare.

"Urban Farming"

Pakar Pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya, Ramdan Hidayat, yang diminta pendapatnya, mengatakan perubahan iklim adalah ancaman nyata bagi produksi pangan karena menurunkan produktivitas dan menimbulkan ketidakpastian bagi petani.

"Dampaknya terasa pada tanaman pangan yang diproduksi 4-6 bulan, makanya harus diperhatikan. Kalau sayur-mayur hanya 30 hari, tidak terlalu terdampak. Maka yang harus dikuatkan adalah prakiraan cuaca dengan alat yang lebih canggih agar akurat," kata Ramdan.

Selain itu, perlu menggalakkan urban farming di setiap kabupaten/kota. Sejak 2014 sudah memberi warning bahwa dunia akan memasuki krisis pangan, sedangkan penduduk dunia terkonsentrasi di kota, sehingga urban farming harus didorog sebagai upaya diversifikasi pangan.

Dihubungi terpisah, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Tata Mustasya, mengatakan biaya akibat krisis iklim sangat mahal karena berdampak terhadap krisis pangan dan kenaikan harga pangan.

"Produksi pangan bakal terancam karena hilangnya keseimbangan lingkungan akibat kebergantungan pada energi kotor," kata Tata.

Kenaikan harga pangan, jelas Tata, salah satunya disebabkan krisis iklim yang dampaknya sangat besar terasa pada kelompok rentan, seperti mereka yang berpendapatan rendah dan miskin.

Ini membuktikan bahwa krisis iklim tidak hanya berdampak bagi lingkungan, tetapi juga manusia, karena ada masalah pada upaya memenuhi kebutuhan makanan.

Data dari Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB), hingga 10 Agustus 2022, ada 2,207 bencana yang melanda Indonesia dan lebih dari 90 persen merupakan bencana hidrometeorologi.

Curah hujan tinggi, tambahnya, akan mengganggu produksi dan distribusi pangan sehingga mengerek kenaikan harga di tingkat konsumen.

n SB/ers/E-9

Baca Juga: