Kebergantungan yang berlebihan pada satu atau dua jenis tanaman membuat kita rentan terhadap gangguan produksi yang disebabkan oleh cuaca ekstrem atau bencana alam lainnya.

JAKARTA - Perubahan iklim semakin mengancam produktivitas pangan di berbagai belahan dunia. Tidak hanya di Indonesia, tetapi di berbagai belahan dunia lainnya termasuk di negara-negara produsen pangan, seperti Tiongkok dan India yang menjadi barometer pertanian dunia, tidak luput dari cuaca panas ekstrem dan kekeringan.

Guru Besar Ekonomi Pertanian dari UGM, Dwijono Hadi Darwanto, di Yogyakarta, Selasa (18/6), mengakui perkiraan cuaca dengan kekeringan memang mengancam negara-negara penghasil bahan pangan. Tidak hanya itu, di dalam negeri sendiri, selain kekeringan di sebagian daerah penghasil pangan, di beberapa daerah seperti Pantai Utara Jawa (Pantura) malah dilanda banjir. Kondisi tersebut jelas akan mengancam rendahnya tingkat produktivitas dan produksi pangan terutama beras.

"Dalam kondisi produk domestik yang menurun dan juga penurunan produksi maka diperkirakan impor juga sangat-sangat terbatas, sehingga tidak akan mampu bertahan kalau tidak melakukan diversifikasi berbasis pangan lokal. Tentu harus diolah lebih praktis sehingga lebih mudah diakses konsumen dalam negeri," kata Dwijono.

Dalam situasi kritis seperti sekarang, sangat penting segera mengenalkan kepada masyarakat sebagai konsumen tentang diversifikasi bahan makanan. Diversifikasi konsumsi berarti memperluas jenis bahan pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat sehingga tidak hanya bergantung pada beras dan gandum saja.

Beberapa alasan mengapa diversifikasi konsumsi perlu segera diterapkan di antaranya dengan mengonsumsi berbagai jenis bahan pangan dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional. "Kebergantungan yang berlebihan pada satu atau dua jenis tanaman membuat kita rentan terhadap gangguan produksi yang disebabkan oleh cuaca ekstrem atau bencana alam lainnya," jelas Dwijono.

Selain itu, diversifikasi konsumsi juga memberikan manfaat gizi yang lebih baik bagi masyarakat. "Dengan mengonsumsi berbagai jenis makanan, kita dapat memastikan asupan nutrisi yang lebih seimbang dan lengkap, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat," katanya.

Dengan mempromosikan berbagai jenis tanaman pangan maka secara tidak langsung dapat mendukung petani lokal yang menanam tanaman selain beras dan gandum. Pendapatan petani pun akan meningkat sembari mengurangi kebergantungan pada impor pangan.

"Diversifikasi konsumsi juga merupakan strategi adaptasi yang efektif terhadap perubahan iklim. Beberapa tanaman mungkin lebih tahan terhadap kondisi cuaca ekstrem dibandingkan yang lain, sehingga dapat menjadi alternatif yang lebih andal dalam menghadapi perubahan iklim," papar Dwijono.

Pada kesempatan yang berbeda, Peneliti Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi, mengatakan Tiongkok saja yang sudah lama melakukan investasi besar-besaran untuk merespons perubahan iklim, pada akhirnya juga menghadapi tantangan perubahan iklim.

Mereka sudah mengembangkan infrastruktur dan teknologi, salah satunya dengan merekayasa sungai dan bendungan yang memadukan antara kebutuhan pangan dan energi secara terpadu.

"Rekayasa lain penerapan masif teknologi drip irigation (irigasi tetes) untuk lahan kering dan kritis. Namun, bukan berarti bisa menyelesaikan masalah 100 persen, hanya mengurangi risikonya saja sehingga lebih moderat," kata Hafidz.

Sampai saat ini, Tiongkok masih sangat bergantung pada ekosistem perdagangan untuk pemenuhan pasokan pangan domestiknya yang besar, sembari mempertahankan insentif-insentif bagi sektor pertanian secara masif, termasuk memperkenalkan sistem local food-nya.

Untuk masalah iklim, lanjut Hafidz, prinsipnya perlu adaptasi dan tidak ada solusi instan yang bisa ditawarkan. Maka, perpaduan antara rekayasa teknis, pemanfaatan data-data cuaca yang presisi, serta penguatan kelembagaan dan pengetahuan di tingkat pelaku usaha pertanian, perikanan, perkebunan menjadi kuncinya.

Kekeringan Parah

Seperti diberitakan sebelumnya, Tiongkok tengah dilanda cuaca ekstrem karena kekeringan parah dan suhu tinggi, menghanguskan wilayah utara, sementara hujan lebat menggenangi wilayah selatan, meningkatkan kekhawatiran mengenai ketahanan pangan di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia.

Daerah-daerah di negara yang menghasilkan banyak beras dan gandum terkena dampak buruk sehingga mengganggu musim tanam di musim semi dan musim panas.

Kementerian Pertanian Tiongkok, mengatakan bahwa kekeringan dan panas berdampak buruk pada musim tanam di beberapa provinsi utara dan tengah, dan memperingatkan bahwa suhu diperkirakan akan melampaui 35 Celsius (95 Fahrenheit) dalam beberapa hari mendatang.

Dikutip dari Cable News Network (CNN), peringatan darurat dikeluarkan mencakup setidaknya tujuh provinsi, termasuk wilayah pertanian utama Henan dan Shandong, sudah diberlakukan karena kondisi kering dan panas.

Suhu yang terus-menerus tinggi baru-baru ini telah mempercepat hilangnya air di dalam tanah dan (menyebabkan) kekeringan di beberapa daerah, yang berdampak negatif pada musim tanam di musim panas," kata Kementerian itu dalam sebuah pernyataan.

Baca Juga: