Dari dua juta orang yang meninggal, 91 persen di antaranya menimpa negara- negara berkembang karena sistem peringatan dini yang kurang memadai.

Kerugian material bencana alam meningkat, dari US$175,4 miliar dollar pada 1970-an menjadi 1,38 triliun dollar AS pada 2010.

JENEWA - Badan meteorologi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat dalam 50 tahun terakhir lebih dari dua juta orang di seluruh dunia meninggal akibat bencana alam. Banyaknya jumlah korban tersebut karena intensitas bencana alam yang meningkat.

World Meteorology Organization (WMO) atau Organisasi Meteorologi Dunia melaporkan bencana alam, seperti banjir dan gelombang panas yang disebabkan oleh perubahan iklim telah meningkat lima kali lipat selama 50 tahun terakhir yang merugikan manusia hingga 3,64 triliun dollar Amerika Serikat (AS).

Dari jumlah korban kematian dua juta orang, sekitar 91 persen di antaranya akibat bencana yang menimpa negara-negara berkembang karena mereka pada umumnya memiliki sistem peringatan dini yang kurang memadai.

Seperti dikutip dari Reuters, program jajak pendapat bertajuk Atlas yang dilakukan WMO menyurvei sekitar 11 ribu bencana yang terjadi antara tahun 1979 hingga 2019. Survei termasuk memotret bencana kekeringan di Ethiopia pada 1983 yang menewaskan 300 ribu jiwa, serta Badai Katrina pada 2005 yang menelan kerugian hingga 163,61 miliar dollar AS.

Laporan tersebut menunjukkan tren terjadinya bencana yang semakin cepat. Jumlah bencana alam meningkat hampir lima kali lipat dari tahun 1970-an hingga dekade terakhir.

WMO meyakini peristiwa cuaca ekstrem menjadi lebih sering karena perubahan iklim dan pemanasan global.

Seiring berjalannya waktu, kerugian material akibat bencana alam juga meningkat, dari 175,4 miliar dollar AS pada era 1970-an menjadi 1,38 triliun dollar AS pada sekitar tahun 2010-an.

Di sisi lain, WMO menyebutkan jumlah kematian tahunan telah turun dari lebih dari 50.000 pada tahun 1970-an menjadi sekitar 18.000 di tahun 2010. Penurunan itu karena sistem perencanaan dan peringatan dini yang lebih baik.

"Meskipun kerugian ekonomi meningkat seiring dengan meningkatnya eksposur, peningkatan sistem peringatan dini multibahaya telah menyebabkan penurunan angka kematian yang signifikan," kata Sekretaris Jenderal WMO, Petteri Taalas, dalam laporan tersebut.

WMO berharap dengan laporan tersebut, pemerintah di seluruh dunia menjadi lebih sadar akan risiko bencana alam, termasuk pentingnya menyiapkan sistem peringatan dini. WMO mencatat hanya setengah dari 193 anggotanya yang memiliki sistem peringatan dini multibahaya. Dalam kasus ini, terjadi kesenjangan yang parah terutama di Afrika.

Ekonomi Hijau

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, menyatakan ekonomi hijau menjadi salah satu elemen penting dari peradaban baru dan tren ekonomi global.

Tekanan maupun tuntutan untuk ramah lingkungan semakin tinggi, sehingga Indonesia harus mampu merespons dan menyiapkannya melalui berbagai kebijakan reformasi struktural hingga digitalisasi. Upaya tersebut akan lebih baik dilakukan bersama pemerintah pusat dan daerah agar seluruh wilayah di Tanah Air semakin ramah lingkungan.

Sementara itu, peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Amien Widodo, mengatakan negara-negara termasuk Indonesia harus menekan potensi risiko dari bencana dengan menguatkan manajemen bencana alam.

"Perubahan iklim disebabkan kenaikan suhu akibat emisi karbon. Ini akan memengaruhi semua faktor cuaca, mulai angin, ombak, hujan di seluruh dunia. Jangan heran kalau jumlah kerugiannya begitu besar. Sebetulnya kita sempat mau mengurangi penggunaan energi fosil, tapi maju-mundur terus," kata Amien.

Direktur Walhi Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, meminta pemerintah mempercepat peralihan ke energi bersih untuk menghindari kerugian lebih besar dari dampak perubahan iklim.

"Kurangi segala hal yang menghambat pengembangan energi baru terbarukan. Itu kontribusi kita menghadapi gejala perubahan iklim global," kata Kisworo.

Baca Juga: