JAKARTA - Pulau Bali dikenal memiliki hamparan sawah berwarna kuning kehijauan beriak di lanskap bagaikan ombak, hamparan sawah subak kuno menjadi saksi kekayaan warisan budaya pulau ini. Sistem irigasi yang rumit dan dikelola masyarakat ini telah menyuburkan tanah dan penduduknya, simbol keseimbangan yang rapuh antara alam dan tradisi.
Dikutip dari The Straits Times, seiring dengan semakin besarnya dampak perubahan iklim dari tahun ke tahun, hubungan yang harmonis ini pun terancam. Para ahli memperingatkan pada 2050, hamparan sawah subak yang indah dapat terancam punah, yang mengakibatkan lanskap dan cara hidup pulau itu berubah total. "Namun, skenario seperti itu dapat dihindari dengan tindakan pencegahan," imbuh mereka.
Sistem subak di Bali menduduki puncak daftar 50 situs Warisan Dunia UNESCO yang berisiko punah pada tahun 2050 akibat perubahan iklim, menurut sebuah studi oleh Climate X. Subak di Bali rentan terhadap banjir permukaan, panas ekstrem, dan kekeringan, catat studi yang dirilis pada bulan Agustus.
"Temuan kami menjadi peringatan keras bagi pemerintah, pegiat pelestarian, dan masyarakat global untuk memprioritaskan perlindungan planet kita, untuk melestarikan monumen kuno dan aset serta infrastruktur kita saat ini, dan untuk melindungi kehidupan saat ini dan di masa depan," kata kepala eksekutif dan salah satu pendiri Climate X, Lukky Ahmed.
Subak adalah sistem yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu yang menjamin distribusi air yang adil bagi semua petani dalam suatu komunitas tertentu. Air yang bersumber dari danau, sungai, atau mata air disalurkan melalui kanal, bendungan, desa, dan kuil, mengalir menuruni bukit untuk mengairi lahan subak.
Perusahaan analisis risiko iklim meneliti 500 lokasi dan mengidentifikasi 50 lokasi yang paling berisiko akibat perubahan iklim. Situs Warisan Dunia Indonesia lainnya yang menghadapi risiko kepunahan pada tahun 2050 termasuk tambang batu bara Ombilin di Sumatera Barat dan Taman Nasional Komodo, rumah bagi kadal terbesar di dunia, di Nusa Tenggara Timur.
Hasil Panen Buruk
Pakar teknologi pertanian dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Hanggar Ganara Mawandha, yang bidang penelitiannya adalah subak, mengatakan pola cuaca yang tidak menentu seperti musim kemarau yang panjang atau curah hujan yang tinggi dan tak terduga telah mempengaruhi sumber air yang mengairi sistem subak, sehingga mengakibatkan buruknya hasil panen para petani.
"Pengelolaan subak dilakukan secara konsensus (karena setiap komunitas subak memastikan distribusi air yang merata kepada petani). Subak sangat rentan terhadap perubahan iklim. Ketika air dari sumber daya menurun, sulit untuk mendistribusikan air (secara adil)," katanya.
"Bertani menjadi lebih menantang selama dua dekade terakhir, terutama karena penurunan kuantitas aliran air yang berulang di sistem irigasi subak miliknya," kata Wayan Subawayasa, petani di Desa Jatiluwih, yang terletak di lereng Gunung Batukaru di Bali tengah.
Ayah satu anak berusia 32 tahun ini dulunya menanam padi di lahan seluas 0,79 hektare, tetapi sekarang hanya dapat memanfaatkan 0,6 hektare karena pasokan air yang terbatas. Ia menanam buah-buahan di lahan yang tersisa.
"Saya beralih ke pertanian organik karena air tidak mencukupi untuk pertanian konvensional. Residu pupuk kimia juga menyebabkan lahan mengering, menyerap banyak air," kata Wayan, seraya menambahkan ia harus mencari varietas padi dengan siklus hidup yang lebih pendek untuk menjaga hasil panen subaknya tetap stabil di angka 2,5 ton per panen.