Perubahan acuan anggaran pendidikan dinilai berpotensi akan mengurangi kualitas dan layanan pendidikan. Pasalnya, porsi besaran dana pendidikan di APBN bakal menurun.
Perubahan acuan anggaran pendidikan dinilai berpotensi akan mengurangi kualitas dan layanan pendidikan. Pasalnya, porsi besaran dana pendidikan di APBN bakal menurun.
JAKARTA - Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai perubahan acuan anggaran pendidikan berpotensi mengurangi kualitas atau mutu dan layanan pendidikan. Menurutnya, dengan adanya perubahan acuan anggaran pendidikan dari porsi belanja menjadi pendapatan, maka porsi besaran dana pendidikan dalam APBN akan menciut.
"Jadi, kalau pendapatan yang dijadikan acuan, nasib besaran porsi anggaran pendidikan nasional kian mengenaskan, karena juga akan ikut merosot," ujar Ubaid, kepada Koran Jakarta, Senin (9/9).
Pihaknya menolak rencana pemerintah untuk mengubah acuan penentuan besaran alokasi anggaran pendidikan melalui pendapatan negara. Menurutnya, pemerintah telah melarikan diri dari kewajiban konstitusional untuk memprioritaskan alokasi anggaran minimal 20% yang bersumber dari APBN dan APBD. "Kalau mau dianggap konstitusional, ya amandemen dulu UUD 1945 supaya bunyi ayat-ayatnya sama dengan usulan dan kehendak pemerintah," jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menggulirkan wacana tentang rencana perubahan ketentuan alokasi wajib anggaran pendidikan. Menkeu mengusulkan pengubahan acuan anggaran dana pendidikan yang 20 persen dari kebutuhan belanja menjadi pendapatan negara.
Evaluasi Anggaran
Ubaid mengungkapkan, pemerintah sibuk dengan angka 20 persen, tapi lupa dengan kebutuhan pendidikan. Menurutnya, daripada memperdebatkan soal acuan pendapatan atau belanja, sebaiknya lebih produktif jika wacananya adalah menghitung kebutuhan biaya pendidikan.
Dia menambahkan, serapan buruk bukan karena anggaran yang kebesaran, tapi buruknya kualitas program dan lemahnya implementasi di lapangan. Menurutnya, jika serapan anggaran pendidikan 4 tahun lalu dianggap buruk, maka pengelola programnya harus dievaluasi.
"Maka, harus dievaluasi, mengapa ini bisa terjadi, bukan malah besaran anggarannya yang dilucuti. Jadi, yang harus diaudit adalah para pengelola anggaran, bentuk program, mekanisme pengelolaan, dan hal lain yang terkait langsung," katanya.
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, menerangkan, usulan reformulasi anggaran pendidikan akan memiliki konsekuensi penurunan anggaran pendidikan kurang lebih hampir 130 triliun rupiah. Menurutnya, perlu ada refocusing anggaran untuk menyerahkan anggaran pendidikan yang selama ini terdistribusi ke kementerian lain di luar fungsi pendidikan.
"Yaitu, berbasis pada belanja APBN, yang perlu diutamakan adalah terkait dengan distribusi dan alokasi nya supaya lebih banyak diberikan kepada kementerian yang punya tugas dan fungsi pendidikan dalam ini Kemendikbud dan Kemenag," ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, evaluasi anggaran penting untuk memenuhi kebutuhan sektor pendidikan. Menurutnya, praktik pemanfaatan anggaran pendidikan yang tidak tepat sasaran kerap ditemukan di berbagai daerah.
"Distribusi anggaran pendidikan di daerah-daerah harus benar-benar diawasi agar sesuai dengan kebutuhan daerah bersangkutan. Pengawasan atas setiap pengalokasian anggaran menjadi perhatian kita bersama dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan bagi setiap anak bangsa," tuturnya. ruf/S-2