Peningkatan utang luar negeri ini tidak lagi menjadi laverage, melainkan justru menghambat pertumbuhan ekonomi sebab belanja yang dibiayai hampir sebagian besar bersifat konsumtif.

JAKARTA - Pemerintah perlu mengendalikan pertumbuhan utang luar negeri (ULN). Kebergantungan pembiayaan eksternal dari ULN dikhawatirkan dapat menghambat daya pacu perekonomian nasional. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, mengatakan pemerintah membutuhkan pembiayaan eksternal untuk menutup defisit anggaran seiring peningkatan belanja di tengah rendahnya rasio penerimaan pajak terhadap pendapatan negara. Terlebih lagi, kebutuhan belanja tahun depan meningkat menjadi 3.621,3 triliun rupiah dari APBN 2024 sebesar 3.325,1 triliun rupiah.

"Jadi, kalau ketergantungan pada eksternal terutama untuk pembiayaan defisit dan sebagian pembiayaan untuk belanja yang sifatnya konsumtif di pemerintahan, seperti belanja barang, belanja pegawai, dan bahkan pembayaran bunga utang, maka peningkatan utang luar negeri ini tidak lagi menjadi laverage, melainkan justru menghambat pertumbuhan ekonomi," ujar Bhima dalam keterangan di Jakarta, Selasa (15/10). Bhima juga memperingatkan pemerintah mencermati kenaikan ULN di tengah pelemahan rupiah.

"Jadi, ada konsekuensi tentu pengembalian utang jatuh tempo, jika utangnya jangka pendek dan juga pembayaran bunga utang yang wajib dibayar tiap tahunnya akan semakin membengkak seiring dengan pelemahan nilai tukar dan ini akan menjadi beban fiskal berikutnya," jelasnya. Menurut Bhima, kenaikan ULN swasta belum mampu meningkatkan penerimaan deviden dari BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Sebab, sebagian ULN swasta dialokasikan untuk penugasan proyek dan penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN.

"Ini menjadi salah satu sinyalemen kondisi dari kinerja BUMN yang sebagiannya disuntik oleh PMN belum mampu meningkatkan pengembalian utang luar negeri sehingga terus bertambah," tegas Bhima. Karena itu, lanjut Bhima, ada risiko fiskal yang membayangi dari kenaikan ULN dan memang harus ada kehatihatian yang lebih besar. Selain itu, imbuhnya, debt service rasio (DSR) bisa saja kembali meningkat atau memburuk trennya sehingga mengindikasikan kenaikan ULN belum berkorelasi terhadap peningkatan kinerja ekspor.

Persempit Fiskal

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, memperingatkan peningkatan ULN, baik swasta maupun pemerintah, tak hanya memperkecil ruang fiskal, melainkan juga berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah, apalagi jika dibarengi dengan peningkatan impor.

"Karena artinya kebutuhan untuk menggunakan dollar AS untuk membayar utang dan impor meningkat. Oleh karena itu, untuk menjaga stabilitas nilai tukar perlu dilakukan peningkatan investasi lewat FDI (foreign direct investment)," ucap Esther. Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) melaporkan ULN Indonesia pada Agustus 2024 tercatat sebesar 425,1 miliar dollar AS atau sekitar 6.590 triliun rupiah.

Angka itu tumbuh 7,3 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Sebagai rinciannya, ULN pemerintah sebesar 200,4 miliar dollar AS atau tumbuh 4,6 persen (yoy) dan ULN swasta sebesar 197,8 miliar dollar AS atau tumbuh sebesar 1,3 persen (yoy). "Posisi ULN Agustus 2024 juga dipengaruhi oleh faktor pelemahan mata uang dolar AS terhadap mayoritas mata uang global, termasuk rupiah," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, di Jakarta, awal pekan ini.

Baca Juga: