Masih menjadi pertanyaan terbuka apakah populasi yang menurun akan mengurangi tekanan pada lingkungan.
Andrew Taylor, Charles Darwin University dan Supriya Mathew, Charles Darwin University
Pertumbuhan populasi manusia sedang melambat-fase yang sebelumnya dianggap mustahil. Jumlah laju pertumbuhan populasi penduduk dunia kemungkinan dapat memuncak lebih awal dari yang sebelumnya diperkirakan-sebanyak 10 miliar jiwa pada 2060-an-lalu mulai menurun.
Di negara-negara kaya, tren ini sedang berlangsung. Populasi penduduk Jepang menurun tajam, dengan angka kehilangan penduduk bersih atau net loss (setelah dikurangi angka kelahiran) sebesar 100 jiwa setiap jam. Di Eropa, Amerika, dan Asia Timur, angka kelahiran menurun drastis. Tren serupa juga berpeluang terjadi di banyak negara berpendapatan menengah bahkan rendah.
Perubahan ini sungguh luar biasa. Sepuluh tahun silam, para ahli demografi memerkirakan jumlah penduduk global dapat menyentuh 12,3 miliar jiwa, naik pesat dari 8 miliar tahun ini.
Selama 50 tahun, beberapa pegiat lingkungan mencoba langkah-langkah pelestarian dengan memangkas pertumbuhan populasi global. Pada 1968, Buku The Population Bomb (Ledakan Populasi) menaksir kelaparan massal akan terjadi, sekaligus menuntut upaya pengendalian kelahiran berskala besar.
Kini, kita menghadapi realitas yang berbeda. Pertumbuhan populasi melambat tanpa upaya-upaya pengendalian, dan populasi negara maju menurun. Tren ini memicu upaya memancing warga untuk memiliki lebih banyak anak-yang tergesa-gesa, tapi tak efektif.
Lantas, apa dampak melambatnya populasi dunia bagi lingkungan?
Depopulasi sedang berlangsung
Depopulasi di banyak negara di Eropa, Amerika Utara, dan beberapa di Asia Utara, sudah berlangsung sejak dekade-dekade lalu. Angka kelahiran menurun secara konsisten sejak 70 tahun silam. Di kawasan-kawasan tersebut, angka ini tetap rendah, kala harapan hidup memanjang-jumlah orang-orang berusia lebih dari 80 tahun-akan bertambah dua kali lipat dalam 25 tahun ke depan.
China saat ini merupakan negara terpadat di dunia, menyumbang seperenam dari total populasi global. Namun, tren ini bisa berubah karena populasi Cina menurun, dengan laju yang diperkirakan akan semakin cepat.
Pada akhir abad ini, penduduk Cina ditaksir akan berkurang dua per tiga dari populasi saat ini sebanyak 1,4 miliar jiwa. Penurunan mendadak terjadi karena One Child Policy yang berlangsung lama.
Meski berakhir pada 2016, pengakhiran kebijakan ini sudah terlambat untuk menghindari penurunan populasi.
Jepang dulunya merupakan negara berpenduduk terbanyak kesebelas di dunia. Namun, populasi Jepang kemungkinan akan berkurang separuh sebelum akhir abad ini.
Fenomena yang terjadi saat ini adalah transisi demografi. Saat negara mulai bergerak dari masyarakat perdesaan dan agraris ke industri dan ekonomi berbasis jasa, angka kelahiran akan menurun tajam. Ketika angka kelahiran dan kematian sama-sama rendah, populasi akan mulai menurun.
Mengapa? Faktor pentingnya adalah pilihan perempuan. Lebih banyak perempuan yang menunda kehamilan dan rata-rata beranak lebih sedikit. Ini terjadi karena pilihan-pilihan yang lebih baik dan kebebasan menempuh pendidikan maupun karir.
Kenapa kita tiba-tiba berfokus pada depopulasi, padahal angka kelahiran di negara maju sudah menurun sejak beberapa dekade lalu?
Saat pandemi COVID melanda pada 2020, angka kelahiran terjun bebas di banyak negara, sebelum merayap naik sedikit. Di lain pihak, angka kematian meningkat. Walhasil, kombinasi itu mempercepat awal penurunan populasi secara lebih luas.
Penurunan populasi memicu tantangan ekonomi. Sebab, hanya sedikit tenaga kerja yang tersedia, dan lebih banyak orang tua yang membutuhkan dukungan.
Negara yang mengalami penurunan populasi secara cepat mungkin akan mulai membatasi emigrasi. Mereka ingin menjaga agar tenaga kerja yang sudah langka tidak ke mana-mana, sekaligus mencegah penuaan dan penurunan populasi lanjutan. Persaingan tenaga kerja terampil di pasar global akhirnya akan semakin panas. Tentu saja, migrasi tidak mengubah berapa banyak penduduk dunia-hanya terkait di mana mereka berada.
Apakah ini hanya masalah negara-negara maju? Tidak. Melambatnya pertumbuhan populasi di Brasil, negara besar berpendapatan menengah, sedang mencetak rekor.
Pada 2100, kemungkinan hanya ada enam negara di dunia yang memiliki angka kelahiran melebihi kematian: Samoa, Somalia, Tonga, Niger, Chad, and Tajikistan. Sekitar 97% negara lainnya diprediksi memiliki angka kelahiran di bawah tingkat penggantian (2,1 anak per perempuan).
Buruk bagi perekonomian-baik untuk lingkungan?
Lebih sedikit manusia berarti berkah bagi alam raya-ya, kan?
Sayangnya tidak sesederhana itu.
Tengoklah data jumlah energi per kapita yang kita gunakan meninggi pada penduduk 35 dan 55. Untuk usia seterusnya, angka ini menurun, tapi akan naik kembali pada penduduk berusia 70 dan seterusnya.
Kenaikan terjadi karena penduduk berusia tua cenderung berada di dalam ruangan lebih lama dan hidup sendirian di rumah yang besar. Pertumbuhan penduduk lansia yang luar biasa pada abad ini dapat menahan laju pengurangan konsumsi energi akibat penurunan populasi.
Kemudian ada disparitas besar dalam penggunaan sumber daya. Jika kamu tinggal di Amerika Serikat (AS) ataupun Australia, jejak karbonmu hampir dua kali lipat lebih banyak dibandingkan Cina sebagai negara pengemisi terbanyak.
Negara maju mempunyai angka konsumsi yang lebih besar. Jadi, saat negara-negara semakin kaya dan sehat, meski dengan lebih sedikit anak, kemungkinan besar populasi global akan memiliki jejak emisi lebih tinggi.
Kecuali, tentu saja, kita mencoba menumbuhkan ekonomi yang lebih rendah emisi, berikut dampak lingkungan lainnya, sebagaimana banyak ditempuh negara-negara saat ini. Namun, kemajuan upaya ini masih sangat lamban.
Kemungkinan kita akan melihat lebih banyak kebijakan migrasi yang lebih terbuka untuk menggenjot jumlah angkatan kerja di suatu negara. Ini sudah dimulai-jumlah migrasi sudah melampaui-angka yang diproyeksikan pada 2050.
Ketika orang-orang bermigrasi ke negara yang lebih maju, ekonomi negara tersebut akan menguntungkan mereka dan juga negara tujuannya. Namun, sebagai hasilnya, emisi per kapita akan naik dan dampak lingkungan memburuk, karena kenaikan pendapatan berbanding lurus dengan penambahan emisi.
Selain itu, ada kekacauan yang mengintai akibat perubahan iklim. Seiring dengan pemanasan global, migrasi paksa-saat orang harus meninggalkan rumah untuk melarikan diri dari kekeringan, perang, atau bencana terkait iklim lainnya-diproyeksikan akan melonjak hingga 216 juta orang pada seperempat abad mendatang. Migrasi paksa mungkin mengubah pola emisi, tergantung pada tempat orang menemukan perlindungan.
Selain faktor-faktor ini, populasi global yang menurun mungkin bisa mengurangi konsumsi secara keseluruhan dan mengurangi tekanan terhadap lingkungan.
Para ahli lingkungan yang khawatir tentang overpopulasi telah lama berharap agar populasi global menurun. Keinginan mereka mungkin akan segera terpenuhi. Bukan melalui kebijakan pengendalian kelahiran yang dipaksakan, tetapi sebagian besar melalui pilihan perempuan terdidik dan lebih kaya yang memilih untuk memiliki keluarga kecil.
Masih menjadi pertanyaan terbuka apakah populasi yang menurun akan mengurangi tekanan pada lingkungan. Hal tersebut belum bisa terjawab kecuali kita mengurangi emisi dan mengubah pola konsumsi di negara-negara maju.
Andrew Taylor, Associate Professor in Demography, Northern Institute, Charles Darwin University dan Supriya Mathew, Associate professor, Charles Darwin University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.