WASHINGTON DC - Bank Dunia menyatakan kenaikan harga minyak yang terjadi terus-menerus akibat masalah geopolitik, khususnya perang, berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi di negara-negara pengimpor minyak (net importir), seperti Tiongkok, Indonesia, Afrika Selatan, dan Turki.

Wakil Presiden Bank Dunia, Indermit Gill, dalam pengarahannya di Washington DC, Selasa (9/3) waktu setempat, mengatakan perang akan menyebabkan kemunduran lebih lanjut terhadap pertumbuhan untuk pasar negara berkembang yang sudah tertinggal.

Pertumbuhan yang sangat lambat juga akan sangat terasa di negara yang masih tertinggal dalam upaya pemulihan dari pandemi Covid-19 serta berjuang di tengah gempuran utang dan inflasi.

Perang telah memperburuk ketidakpastian itu, merugikan orang-orang yang paling rentan di tempat-tempat yang paling rapuh. "Terlalu dini untuk mengatakan sejauh mana konflik akan mengubah prospek ekonomi global," ungkap Gill, seperti dikutip dari Reuters.

Sejauh ini, beberapa negara di Timur Tengah, Asia Tengah, Afrika, dan Eropa sangat bergantung pada Russia dan Ukraina untuk makanan. Dua negara yang tengah berkonflik tersebut menyumbang lebih dari 20 persen ekspor gandum global.

Bank Dunia, jelas Gill, akan menunjukkan kenaikan harga minyak sebesar 10 persen yang berlangsung selama beberapa tahun dapat memotong pertumbuhan di negara berkembang pengimpor minyak.

Sebagai catatan, harga minyak telah naik lebih dari dua kali lipat selama enam bulan terakhir. Gill menambahkan, Afrika Selatan diperkirakan akan tumbuh sekitar 2 persen setiap tahun pada 2022 dan 2023 sebelum perang pecah di Eropa. Sementara itu, Turki seharusnya bisa tumbuh 2-3 persen, sedangkan Tiongkok dan Indonesia masing-masing diprediksi tumbuh 5 persen.

Berlipat Ganda

Sebelumnya diberitakan, Russia adalah pengekspor produk minyak mentah dan minyak terbesar kedua dunia, dengan ekspor sekitar tujuh juta barel per hari atau 7,0 persen dari pasokan global.

Analis Bank of America mengatakan jika sebagian besar ekspor minyak Russia dihentikan, mungkin ada kekurangan lima juta barel, dan itu berarti harga minyak bisa berlipat ganda dari 100 dollar AS menjadi 200 dollar AS per barel, sedangkan analis JP Morgan mengatakan harga minyak bisa melonjak menjadi 185 dollar AS per barel tahun ini.

Sementara itu, ekonom Bank OCBC Singapura, Howie Lee, mengatakan skenario terburuk dari sanksi ekspor energi Russia tidak akan mengejutkan jika Brent diperdagangkan di atas 200 dollar AS per barel.

Secara terpisah, Pengamat Ekonomi dari Indef, Agus Herta, mengatakan konflik Russia dan Ukraina akan menekan APBN karena harga komoditas dunia terkerek naik, menjauh dari asumsi APBN.

"Harga minyak dunia dalam asumsi APBN hanya ditetapkan sebesar 63 dollar AS per barel. Padahal hingga 7 Maret 2022, harga minyak Brent sudah ditransaksikan seharga 128,76 dollar AS per barel," kata Agus.

Kenaikan harga minyak dan gas dunia tersebut menekan belanja karena subsidi energi naik, terutama LPG 3 kg dan subsidi listrik.

"Subsidi listrik untuk masyarakat menengah bawah juga akan meningkat seiring naiknya harga minyak dunia, karena sebagian produksi listrik di Indonesia masih menggunakan solar dan batu bara sebagai bahan bakar," kata Agus

Baca Juga: