Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) melaporkan maraknya produk pertekstilan impor dalam bentuk kain yang masuk untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri membuat para tenaga kerja di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terancam terkena pemutusan tenaga kerja. Bahkan, sedikitnya sembilan perusahaan sudah menutup produksi dan merumahkan sekitar dua ribu orang karyawan dalam dua tahun terakhir.

Padahal, industri tekstil Indonesia masih berorientasi domestik dibanding ekspor. Selain itu, industri tekstil yang berorientasi domestik ini di satu sisi belum memenuhi syarat kualitas barang untuk bisa diekspor. Artinya, kalau pasar domestik diisi oleh barang-barang impor yang notabene harganya jauh lebih murah, tentu tidak ada pilihan lain bagi pebisnis tekstil nasional selain menutup industrinya.

Di sisi lain, impor kain dengan harga yang lebih murah membuat produk domestik kurang bisa bersaing. Menurut data Ikatan Ahli Tekstil seluruh Indonesia (Ikatsi), rata-rata pertumbuhan ekspor dalam kurun 10 tahun (2008-2018), ekspor TPT nasional naik 3 persen, sedangkan impor naik 10,4 persen. Neraca perdagangan pun terus tergerus dari 6,08 miliar dolar AS menjadi 3,2 miliar dollar AS.

Lebih dari itu, sektor industri yang terdampak maraknya produk impor sehingga mengurangi jumlah karyawan berada pada sektor menengah, seperti sektor pemintalan, pertenunan, dan rajut. Kalau perusahaan pertenunan tutup akan sulit untuk hidup kembali, berbeda dengan rajut yang bisa beralih ke bahan baku kain impor daripada pakai produk sendiri tapi tidak berdaya saing. Perusahaan di sektor rajut masih bisa tetap berproduksi dengan menggunakan kain impor sementara mesin-mesin produksinya diistirahatkan begitu pun juga karyawan bisa dirumahkan.

Selain itu, salah satu penyebab industri tekstil di dalam negeri kalah bersaing di pasar internasional karena waktu proses (lead time) dari tahap pembuatan hingga distribusi garmen yang sangat panjang.

Lead time produksi tekstil di Indonesia terlalu panjang karena mayoritas bahan baku diimpor. Lead time produksi tekstil di dalam negeri bisa memakan waktu hingga 120 hari, jauh lebih lama ketimbang negara lain yang hanya 60 hari. Untuk mencapai 60 hari harus punya produk seluruhnya dari dalam negeri.

Untuk langkah penyelamatan jangka pendek industri TPT ini, pengusaha membutuhkan safeguard atau pengenaan tarif untuk produk-produk TPT impor. Penerapan safeguard tersebut akan dibarengi dengan program-program asosiasi dan pemerintah secara bersamaan untuk merevitalisasi dan merestrukturisasi industri yang berorientasi domestik dan ditingkatkan agar bisa berorientasi ekspor.

Iklim investasi di Indonesia juga perlu diperhatikan agar peluang dari relokasi industri di Tiongkok dapat diambil oleh Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia harus segera membenahi iklim investasi khususnya di bidang industri tekstil untuk mencegah lebih banyak perusahaan kolaps di masa mendatang. Caranya dengan membuat peraturan hulu yang fleksibel, didukung dengan biaya energi (listrik) yang lebih murah, peluang investasi untuk sektor tekstil dapat disalip oleh Kamboja, Myanmar, bahkan Ethiopia.

Pemerintah sebaiknya tidak melulu janji melindungi pertekstilan nasional. Saat ini dibutuhkan kebijakan konkret agar pebisnis nasional tidak bangkrut dan tidak terjadi pemutusan hubungan kerja massal.

Di sinilah pentingnya keputusan untuk membatasi impor tekstil dan melindungi produksi dalam negeri. Sebab, selama pemerintah membiarkan impor tekstil selama itu pula produksi tekstil dalam negeri anjlok.

Baca Juga: