Implementasi sistem pertanian ramah lingkungan atau low carbon menghadapi sejumlah tantangan, terutama mendorong petani beralih dari pupuk kimiawi ke organik.

JAKARTA - Pemerintah mendorong pertanian rendah emisi karbon atau low carbon guna mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Sebab, aktivitas pertanian tak terkendali dapat menjadi penyumbang cukup besar efek gas rumah kaca (GRK) yang memicu pemanasan global.

Sebagai catatan, sektor pertanian di Indonesia selama ini melepaskan emisi GRK ke atmosfer, seperti metana (CH4), nitrogen dioksida (NO2) dan juga karbon dioksida (CO2). Ketiga emisi GRK tersebut dihasilkan dari kegiatan pertanian, seperti pemupukan, budi daya padi, pembakaran biomassa, dan penggunaan pupuk urea.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan), Suwandi, mengatakan pembangunan pertanian harus memperhatikan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi/ lingkungan. Karena itu, Kementan menjalankan program pertanian green economy dan ramah lingkungan, penurunan efek rumah kaca, integrasi pangan, dan ternak terpadu.

"Pembangunan pertanian harus dengan cara-cara modern yang dapat mengurangi dampak perubahan iklim dan berbagai tantangan," tegas Suwandi dalam webinar pertanian rendah karbon, di Jakarta, Selasa (18/1).

Suwandi berharap Kementan dapat bersinergi dengan semua pihak untuk memberikan pemahaman dan mengimplementasikan berbagai kegiatan pertanian yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca beserta penanganannya berupa konsep ramah lingkungan dan low carbon.

"Tantangannya adalah dengan adanya upaya-upaya ini, produksi harus tetap meningkat. Kita harus menekan penggunaan pupuk kimiawi dan mendorong petani untuk beralih ke pupuk organi," jelasnya.

Analis Kebijakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jarot Indarto, menuturkan pembangunan rendah karbon menjadi salah satu prioritas pembangunan dalam RPJMN 2020-2024. Kontribusi terbesar pada penurunan emisi GRK sektor pertanian pada 2020 berasal dari lahan sawah dengan penggunaan varietas yang rendah emisi oleh petani.

"Adapun kegiatan pengaturan air melalui metode system rice of intensification dan pengelolaan tanaman terpadu kini dinilai sudah tidak menjadi prioritas oleh Kementan," tuturnya.

Akademisi Teknik dan Manajemen Lingkungan Sekolah Vokasi Institut Pertanian Bogor (IPB), Beata Ratnawati, menyebutkan ada delapan kegiatan inti pengurangan emisi, di antaranya pemeliharaan dan perbaikan jaringan irigasi.

Hal lainnya, lanjut dia, berupa optimalisasi lahan, penerapan teknologi budi daya tanaman (Sekolah Lapang Pertanian Tanaman Terpadu, varietas rendah emisi, pemanfaatan pupuk organik dan biopestisida / Unit Pengelola Pupuk Organik) pengembangan areal perkebunan di lahan tidak berhutan/ lahan terlantar dan pemanfaatan kotoran/ urine ternak dan limbah pertanian untuk biogas.

Pupuk Organik

Sementara itu, Produsen Muda Pupuk Organik Cair Pronik, M Akbar, mengungkapkan emisi GRK bisa dikurangi dengan penggunaan pupuk organik, pengembangan pupuk organik, pembenah tanah, pakan ternak, dan bahan bakar terbarukan.

Dia berharap, melalui penerapan pertanian efisiensi karbon atau Carbon Efficient Farming (CEF), penggunaan pupuk buatan, energi tidak terbarukan, serta emisi GRK, dan pencemaran lingkungan dapat dikurangi.

"Pupuk organik mengandung unsur hara makro dan mikro yang lebih lengkap dibandingkan pupuk anorganik. Pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik tanah, lahan kering menjadi lebih gembur, dan lahan sawah tanahnya bisa lebih lembut," pungkas Akbar.

Baca Juga: