» Untuk regenerasi tenaga kerja di sektor pertanian, pemerintah harus menjaga nilai tukar petani.

» Perkuat akses petani ke lembaga pembiayaan dan pasar.

JAKARTA - Krisis pangan global tidak hanya sekadar isu belaka. Organisasi pangan dunia (Food and Agriculture Organization, FAO) pada peringatan Hari Pangan Sedunia pertengahan Oktober tahun lalu melaporkan bahwa terdapat lima negara yang terancam atau bahkan telah mengalami kelaparan.

Menurut FAO, ketahanan pangan global saat ini tengah menghadapi ancaman dari berbagai arah seperti melonjaknya harga pangan, harga energi, krisis iklim, konflik Russia-Ukraina yang tak berkesudahan, serta meningkatnya populasi dunia. Indonesia pun tidak terlepas dari ancaman tersebut.

Ekonom Senior Indef (Institute for Development of Economics and Finance), Fadhil Hasan, dalam diskusi Catatan Awal Ekonomi Tahun 2023 di Jakarta, Kamis (5/1), mengatakan Indonesia akan menghadapi sedikitnya lima tantangan sektor pangan dan pertanian dalam jangka menengah hingga jangka panjang.

Tantangan pertama, perihal pertumbuhan populasi, urbanisasi, dan ketimpangan pertumbuhan penduduk. FAO melaporkan terdapat 828 juta atau hampir 10 persen dari penduduk dunia terdampak kelaparan. Angka tersebut meningkat signifikan dari 782 juta penduduk pada 2021.

Padahal menurutnya, FAO memproyeksikan jumlah penduduk dunia akan terus tumbuh mencapai 8,6 miliar pada 2030, kemudian 9,8 miliar pada 2050, dan 11,2 miliar pada 2100.

"Lebih dari dua per tiga penduduk dunia akan tinggal di perkotaan pada 2050. Jadi, orang-orang yang bergerak di sektor pangan akan semakin menurun," katanya.

Tantangan kedua yaitu peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita yang akan mengubah pola atau komposisi konsumsi pangan penduduk ke depan, seperti tren meningkatnya konsumsi daging dan susu sehingga meningkatkan ketidakpastian di sektor pertanian.

Ketiga, kelangkaan sumber daya alam (SDA) seperti ketersediaan lahan pertanian yang mulai berkurang karena terdegradasi oleh industri maupun hunian. "Degradasi ini mempengaruhi kualitas penghidupan masyarakat lokal dan kesehatan ekosistem jangka panjang," kata Fadhil.

Tantangan berikutnya adalah perubahan iklim yang dapat mempengaruhi pasokan pangan, kualitas pangan, stabilitas ketahanan pangan, hingga sifat gizi pada tanaman pangan.

Perubahan iklim ini terutama akan merugikan negara berpenghasilan redah dan menengah seperti Indonesia karena penduduknya bergantung pada sektor pertanian dan juga rentan terhadap krisis pangan.

Tantangan terakhir, bencana alam dan konflik yang bisa mengganggu produksi pertanian serta pendapatan petani dan buruh tani sehingga berdampak pada penurunan ketersediaan komoditas dan berujung pada inflasi harga pangan. "Perubahan iklim ini perlu menjadi perhatian mengingat kebergantungan sektor ini pada iklim dan berdampak signifikan bagi tingkat produksi sektor pertanian," kata Fadhil Hasan.

Ekonom Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, sepakat dengan yang disampaikan Fadhil Hasan. Menurut Esther, pemerintah harus menghadapi tantangan-tantangan di sektor pangan dan pertanian tersebut dengan melakukan beberapa hal untuk mengatasi problem itu.

Pertama, untuk mengatasi regenerasi tenaga kerja di sektor pertanian, pemerintah harus menjaga nilai tukar petani agar stabil. Artinya, pada saat panen raya pastikan harga komoditas pertanian tidak anjlok.

Kemudian, untuk menjaga kestabilan harga, pemerintah bisa menghidupkan kembali warehousing financing (resi gudang). Persoalan kenapa warehousing financing banyak yang mati suri, karena petani harus mengeluarkan ongkos transportasi dari kebun ke gudang. Lembaga asuransi enggan meng-cover komoditas pertanian, lalu perbankan juga kurang tertarik.

Ada prosedur yang harus dipenuhi petani untuk menyimpan hasil panennya di gudang seperti kelembapan air, berapa persen kerusakannya, dan lain-lain. "Problem itu harus diatasi dulu," tandas Esther.

Ketiga, perkuat akses petani ke lembaga pembiayaan dan pasar dengan kolaborasi antar-stakeholder, dan juga harus memperluas akses petani ke rantai pasok global dengan meningkatkan daya saing petani. "Caranya harus dengan meningkatkan pengetahuan dan teknologi pascapanen," katanya.

Ekonomi Pedesaan

Sementara itu, pengamat pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, Surabaya, Zainal Abidin, mengatakan seiring bertambahnya penduduk dunia, tantangan sektor pangan dan pertanian ke depan akan semakin berat. Untuk itu, sektor pertanian dan ekonomi pedesaan harus mendapat perhatian lebih.

"Urbanisasi dan ketimpangan pertumbuhan penduduk disebabkan sektor pertanian dirasa kurang menguntungkan bagi masyarakat desa karena hasil petani selalu kalah dengan impor. Agar generasi mudanya tertarik, pertanian harus menguntungkan, ekonomi desa harus lebih bergerak," kata Zainal.

BUMN harus menjalankan fungsi strategisnya menekan impor dan mengatasi kondisi rawan pangan, dengan melakukan hilirisasi subtitusi impor pangan nasional. Selama ini banyak komoditas primer yang terhenti di hilirisasi.

BUMN juga Harus memperpanjang hilirisasi produknya dengan integrasi vertikal, yakni produk primer menjadi produk sekunder, lalu tersier, dan seterusnya. Agroindustri hilir ini harus dikembangkan. Dengan begitu, ekonomi desa akan lebih hidup," tuturnya.

Baca Juga: