Krisis perubahan iklim saat ini telah mengancam komunitas dataran rendah di seluruh dunia. Salah satu kota yang saat ini terancam oleh malapetaka ini Cartagena di Kolombia yang merupakan situs Warisan Dunia UNESCO.

Sebuah kerangka manusia tampak teronggok terkena cuaca saat perairan Karibia yang berwarna biru kehijauan menerjang pantai dekat makam yang hancur. Gambaran ini merupakan sebuah pengingat mengerikan bahwa Kota Cartagena di Kolombia, perlahan-lahan digerus oleh air laut.

Karena komunitas dataran rendah di seluruh dunia saat ini berada di garis depan dalam memerangi krisis iklim, kondisi kota berjuluk "Permata Karibia" ini pun sangat rentan. Di Tierra Bomba, sebuah pulau kecil di Teluk Cartagena, kuburan yang dulunya dibangun pada jarak yang aman dari pantai telah hancur akibat banjir rob yang berulang kali, sementara rumah-rumah tercabik ombak.

Kelly Mendoza melihat dua tetangganya kehilangan rumah, dan pada malam hari, perempuan berusia 31 tahun itu mendengar suara ombak menghantam dinding kamar tidurnya.

"Saya terkejut ketika ombak menghantam tembok dan kemudian saya mendapati diri saya di laut, di tempat tidur saya," tutur dia.

Cartagena, pusat wisata di bagian utara Kolombia, mungkin berada hampir satu meter di bawah air pada akhir abad ini, kata para ahli. "Peningkatan permukaan laut di wilayah pesisir Cartagena disebabkan oleh dua faktor," kata ilmuwan lingkungan asal Kanada, Marko Tosic, salah satu penulis penelitian yang menunjukkan bahwa air di sana meningkat lebih cepat dibandingkan rata-rata global.

Dia mengatakan pemanasan global yang mencairkan lapisan es dan gletser di kutub, dikombinasikan dengan erosi yang menenggelam daratan karena faktor tektonik serta kehadiran gunung berapi bawah laut, turut mempercepat kenaikan permukaan laut di wilayah tersebut.

"Formasi vulkanik ini berlumpur, dan sedikit demi sedikit gravitasi memberikan tekanan pada mereka, menyebabkan dataran menjadi rata dan kota tenggelam," ungkap Tosic.

Studi tersebut, yang diterbitkan pada tahun 2021 oleh jurnal ilmiahNature, mengatakan permukaan laut di Cartagena telah meningkat sekitar 7,02 milimeter per tahun sejak awal abad ke-21, "tingkat yang lebih tinggi" dari rata-rata global sebesar 2,9 milimeter. Para peneliti mengatakan permukaan laut di teluk itu bisa naik 26 sentimeter pada tahun 2050 dan 76 sentimeter pada tahun 2100.

"Ini adalah perubahan yang sangat kecil ketika kita berbicara tentang milimeter selama bertahun-tahun, tapi banjir akan terasa," kata Tosic.

Cartagena, sebuah situs Warisan Dunia UNESCO, adalah kota era kolonial yang pernah menjadi titik panas konflik antara kekuatan Eropa yang bersaing untuk menguasai "Dunia Baru", yang mengakibatkan Spanyol membangun beberapa benteng militer paling luas di kota-kota Amerika selatan di seluruh dunia. Kota tua bersejarah, benteng besar, dan pantai-pantai indah menjadikan Cartagena sebagai daya tarik wisata.

Kini, sebuah mesin sedang bekerja keras membangun benteng baru yaitu tembok laut sepanjang 4,5 kilometer untuk melindungi kota dari gangguan perairan. Di sepanjang garis pantai, gedung-gedung bertingkat berdiri hanya beberapa meter dari laut.

Menurut kantor walikota, sekitar 80 persen lingkungan di kota yang sebagian besar datar dan permukaan lautnya berada di atas permukaan laut, akan berisiko terkena banjir tanpa perlindungan tembok laut ini.

Enggan Menghindar

Tosic memperingatkan bahwa masyarakat miskin memiliki lebih sedikit alat untuk melindungi diri mereka dari kekuatan alam.

Mauricio Giraldo, perwakilan nelayan setempat, mengeluh bahwa tembok laut yang melindungi hotel-hotel mewah dan tempat-tempat wisata, justru telah mengubah arus laut dan tidak memberikan perlindungan bagi daerah-daerah di mana kelompok paling rentan tinggal.

"Selama beberapa dekade, laut telah menghancurkan 250 rumah di masyarakat, pusat kesehatan, dan dermaga. Laut bahkan telah merenggut beberapa balai masyarakat, infrastruktur listrik dan kuburan," ucap Mirla Aaron, pemimpin masyarakat di Tierra Bomba.

"Pulau ini adalah kediaman bagi komunitas kulit hitam yang diperbudak dan menolak kehilangan identitas mereka. Kami tidak akan pergi, kami tidak akan meninggalkan wilayah ini karena ini milik kami," imbuh pria berusia 53 tahun itu. AFP/I-1

Baca Juga: