JAKARTA - Indonesia perlu menyiapkan skema khusus jaminan perlindungan kesehatan dan gizi anak. Apalagi sekitar 1,4 miliar anak di dunia tidak punya perlindungan sosial. Pemerintah perlu mempersiapkan itu agar anak-anak tidak makin terpuruk dalam kekurangan gizi.

Peneliti Mubyarto Institute Awan Santosa mengatakan, perlu dikembangkan skema khusus perlindungan sosial terkait kesehatan dan gizi bagi anak-anak. Hal ini seperti skema pendidikan gratis di sekolah negeri melalui dana bantuan operasional sekolah (BOS), maka perlu ada hal serupa untuk peningkatan gizi bagi anak.

"Selama ini skema seperti ini masih terbatas, untuk itu perlu dimulai dari politik anggaran alokasi APBN/APBD minimal 5 persen untuk kesehatan," katanya dari Yogyakarta, Jumat (16/2).

Skema ini menurutnya berbeda dengan bansos. Sebab peruntukan bansos berbeda, khusus bagi keluarga pra-sejahtera saja. "Skema ini bagi seluruh anak Indonesia seperti halnya BOS," ujar Awan.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, YB. Suhartoko, mengatakan, semakin tinggi pendapatan nasional suatu negara, idealnya harus diikuti peningkatan kesejahteraan masyarakat, termasuk pada anak-anak sebagai generasi penerus.

"Namun demikian, peningkatan kesejahteraan tidak bisa dilakukan dengan instan, namun dengan tahapan dalam perencanaan dan berkelanjutan dan mempertimbangkan kapasitas APBN," ucapnya.

Ketika ditanya apakah bansos bisa menyelesaikan masalah kemiskinan dan gizi buruk, Suhartoko mengatakan, bansos bersifat jangka pendek dan tidak menggerakkan penerima untuk bersemangat mandiri. "Pemberian bantuan ke masyarakat miskin harus diformulasi ulang," tegasnya.

Berdasarkan data dari dua lembaga yakni Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) dan badan amal Inggris Save the Children, Kamis (15/2), sedikitnya 1,4 miliar anak di seluruh dunia di bawah usia 16 tahun tidak memiliki perlindungan sosial apa pun. Hal itu menyebabkan anak-anak rentan penyakit, gizi buruk, dan kemiskinan.

Data tersebut dikumpulkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO), UNICEF, dan Save the Children.

Disebutkan, di negara-negara berpendapatan rendah, bahkan kurang dari satu dari 10 anak mempunyai akses terhadap tunjangan anak. Hal itu menunjukkan adanya perbedaan signifikan dibandingkan dengan cakupan yang dinikmati oleh anak-anak di negara-negara berpendapatan tinggi.

"Secara global, terdapat 333 juta anak yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, berjuang untuk bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari 2,15 dollar AS atau sekitar Rp33.565 per hari, dan hampir satu miliar anak hidup dalam kemiskinan multidimensi," kata Direktur Global Kebijakan Sosial dan Perlindungan Sosial UNICEF, Natalia Winder Rossi.

"Pada tingkat kemajuan saat ini, pencapaian target kemiskinan dalam 'Tujuan Pembangunan Berkelanjutan' masih di luar jangkauan. Ini tidak bisa diterima," kata Rossi seperti dikutip dari Antara.

Rossi mengatakan, mengakhiri kemiskinan anak adalah pilihan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Memperluas cakupan perlindungan sosial bagi anak-anak dalam pengentasan kemiskinan sangatlah penting, termasuk realisasi progresif manfaat anak yang universal.

Lembaga-lembaga tersebut mengatakan, tunjangan anak adalah perlindungan sosial penting yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan anak-anak dalam jangka panjang.

Tunjangan anak tersebut dapat diberikan dalam bentuk uang tunai atau kredit pajak, dan sangat penting untuk mengurangi kemiskinan serta mengakses layanan kesehatan, nutrisi, pendidikan berkualitas, air dan sanitasi. Pemanfaatannya juga mendukung pembangunan sosial-ekonomi, khususnya di masa krisis.

Banyak anak yang kehilangan sumber daya dan layanan dasar yang mereka perlukan untuk keluar dari kemiskinan. Oleh karena itu, mereka terkena dampak jangka panjang berupa kelaparan, kekurangan gizi, dan potensi yang belum terealisasi.

Data menunjukkan peningkatan global yang rendah dalam akses terhadap tunjangan anak selama 14 tahun, dari 20 persen pada tahun 2009 menjadi 28,1 persen pada tahun 2023.

Namun, kemajuan yang dicapai tidak seimbang. Di negara-negara berpendapatan rendah, tingkat cakupan masih sangat rendah yaitu sekitar 9 persen.

Pada saat yang sama, 84,6 persen anak-anak di negara-negara berpendapatan tinggi telah tercakup dalam program tersebut. Tingkat cakupan untuk anak-anak di negara-negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim adalah sepertiga lebih rendah dibandingkan di negara-negara yang tidak tergolong berisiko tinggi

Baca Juga: