JAKARTA - Masyarakat ini memiliki masalah yang tinggi terkait dengan kesehatan mental. Menurut data Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia (Indonesian Association for Suicide Prevention/Inasp) tingkat bunuh diri yang tidak dilaporkan mencapai 4 kali lipat dari yang dilaporkan.

Perbandingan dari Kepolisian dengan Sistem Registrasi Sampel (SRS) setidaknya sebesar 303 persen kasus bunuh diri tidak dilaporkan, sedangkan rata-rata dunia sebesar 50 persen. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan tingkat bunuh diri di Indonesia 1 kajadian per 100.00 jiwa atau antara 0 hingga 7 kematian per 100.000 jiwa per provinsi.

Berdasarkan Data Potensi Desa 2018, setiap 100.000 jiwa terdapat upaya bunuh diri sebanyak 15 kali. Ada upaya bunuh diri antara 1-81 kali per provinsi. "Hal ini menggambarkan Indonesia memiliki masalah kesehatan mental yang cukup tinggi," kata Project Leader & Founder, Emotional Health For All (EHFA) dan Presiden Inasp, Sandersan (Sandy) Onie, dalam konferensi pers virtual Senin (10/10).

Berdasarkan penelitian terbaru Inasp, ditemukan tingkat bunuh diri di Indonesia yang sebenarnya mencapai 4 kali lipat dari angka yang dilaporkan. Selain itu jumlah percobaan bunuh diri setidaknya 7 kali lipat dari jumlah angka yang dilaporkan.

Sandersen mengatakan salah satu tantangan dalam pencegahan kurangnya tenaga psikolog dan psikiater di Indonesia. Saat ini hanya terdapat 4.400 psikolog dan psikiater dengan jumlah populasi lebih dari 250 juta orang. Ditambah dengan adanya pandemi Covid-19, menurut dia membuat kondisi kesehatan mental masyarakat sangat terdampak.

"Kesehatan mental dan bunuh diri berdampak besar pada ekonomi, dengan perkiraan biaya 582 triliun rupiah per tahun dalam kematian dan hilangnya produktivitas, sementara kemajuan untuk penanganan kesehatan mental berjalan lambat," ujar dia.

Penanganan Lambat

Lambatnya penanganan kesehatan mental terkait stigma yang ada pada masyarakat. Mereka yang melakukan sebagai "gila atau tidak waras." Selain itu, keluarga merasa malu untuk mencari bantuan ke tenaga profesional dalam berkonsultasi mengenai masalah kesehatan mental yang dihadapi. "Rasa malu dan diskriminasi merupakan tantangan terbesar terhadap sebuah negara yang sehat," ujar Sandersan.

Untuk mengatasi masalah tersebut salah satu yang dilakukan adalah dengan pendekatan agama. Kejadian diskriminasi yang mengatakan orang dengan gangguan kesehatan mental dianggap karena kurang imannya. "Inilah mengapa meskipun pendidikan kesehatan mental dilakukan selama bertahun-tahun, namun kemajuannya sangat lambat," katanya.

Masih banyak orang dengan gangguan kesehatan mental yang enggan atau bahkan tidak akan mengunjungi psikolog, melainkan justru berbicara dengan pemuka agama. Hal ini menandakan agama memainkan peran yang besar terkait dengan bunuh diri di Indonesia.

Oleh karena itu, EHFA memutuskan untuk mengambil pendekatan radikal mengenai edukasi kesehatan mental yaitu melalui deklarasi pertemuan antar umat agama yang diusung pada tanggal 2-3 Juni 2022 di Lombok sebagai bagian dari acara G20. Deklarasi yang juga disebut sebagai "Lombok Declaration" ini bertujuan untuk menegaskan bahwa setiap orang di Indonesia, termasuk para psikolog, guru, keluarga, pelajar dapat mencari bantuan kesehatan mental tanpa harus didiskriminasi atau distigmatisasi.

Melalui deklarasi ini, tujuh perwakilan tokoh agama KH Miftahul Huda (Majelis Ulama Indonesia), Rm. Y. Aristanto HS, MSF (Komisi Waligereja Indonesia), drg. I Nyoman Suarthanu. MAP KH Sarmidi Husna (Pengurus Besar Nadhlatul Ulama), drg. I Nyoman Suarthanu. MAP (Parisada Hindu Darma), dan I Wayan Sianto (Perwakilan Walubi Indonesia).

Tokoh dari organisasi lain yang dilibatkan adalah Prof. Dr. Musdah Mulia, M.A (International Center for Religions and Peace), Pdt Jackelyn Manuputty (Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia) dan Pdt Ary Mardi Wibowo (Jakarta Praise Church Community) mempersatukan pandangannya terhadap kesehatan mental dengan menandatangani "Deklarasi Relio-Mental Health".

Berdasarkan isi deklarasi tersebut, telah dinyatakan bahwa pemuka dari lima kelompok agama setuju bahwa masalah kesehatan mental bukanlah hal yang memalukan. Mereka sepahat pentingnya mengedepankan pentingnya peran lingkungan dan keluarga dalam mendampingi orang dengan masalah kesehatan mental.

Di saat yang sama, deklarasi ini juga mendorong lembaga keagamaan dan instansi pemerintah seperti Kementerian untuk berkolaborasi dalam meningkatkan pelayanan dan penanganan masalah kesehatan mental serta pencegahan bunuh diri.

Faktor Penyebab

Aktivis HAM dan penggiat inklusi Dr. Bahrul Fuad, M.A. juga menyebutkan tentang betapa pentingnya pendekatan agama terhadap pandangan disabilitas di Indonesia, karena keikutsertaannya dalam merancang Fikih Disabilitas NU dan Lombok Declaration. Selama ini berbagai agama mempercayai bahwa perilaku bunuh diri merupakan perbuatan dosa besar.

"Sehingga mereka yang mencoba bunuh diri mengalami berbagai jenis stigma dan dipandang buruk dan orang yang meninggal karena bunuh diri dilabeli sebagai orang yang tidak bermoral atau memiliki karakter jiwa rendah dan tidak termaafkan," katanya.

Beberapa temuan ilmiah menunjukan bahwa perilaku bunuh diri banyak disebabkan oleh situasi di luar individu yang menyebabkan keguncangan mental atau jiwa. Guncangan ini mendorong seseorang untuk melakukan perilaku bunuh diri.

Ketua Walubi Provinsi Nusa Tenggara Barat, I Wayan Sianto berpendapat bahwa inisiatif deklarasi ini dinilai memberikan solusi yang positif untuk kalangan pemeluk agama Buddha dalam menangani masalah kesehatan jiwa. "Kesehatan jiwa seharusnya bukan dipandang sebagai hal yang memalukan. Sudah seharusnya lingkungan dan keluarga berperperan penting untuk mendampingi orang dengan masalah kesehatan jiwa karena keluarga adalah benteng," ungkapnya.

Komisi Waligereja Indonesia Rm. Y. Aristanto menuturkan Deklarasi Relio-Mental Health, ini akan memudahkan umat Katolik untuk mengubah perspektif mereka terhadap kesehatan mental ke arah yang lebih baik. Ada perubahan paradigma dimana orang dengan masalah kesehatan jiwa dan bunuh diri dianggap dosa.

"Saat ini, Gereja Katolik telah mengubah perspektif tersebut dengan belas kasih dan penderitaan yang menyelamatkan. Bagaimana orang dengan masalah kesehatan jiwa dibantu untuk memiliki pengharapan," ujarnya.

Kesehatan Jiwa

Ketua Pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia Bagian Kesehatan Drg. I Nyoman Suarthanu juga mengatakan adanya deklarasi ini juga berhasil menekankan kesehatan jiwa merupakan bagian penting dalam hidup beragama.

"Sekaranglah waktunya, ketika agama diberikan bagian penting dalam Kesehatan Jiwa, tokoh agama harus mempelopori pengurangan stigma terhadap orang dengan masalah kesehatan jiwa," kata drg. I Nyoman Suarthanu.

Selain perwakilan agama, ada juga pembicara lain termasuk perwakilan dari WHO Indonesia, Greysia Polii (Peraih Emas Olimpiade Tokyo), Gea Denanda, dan beberapa perwakilan lainnya. Semua peserta yang hadir juga berkesempatan untuk menandatangani deklarasi tersebut dan mencantumkan nama mereka pada deklarasi kesehatan mental keagamaan pertama di dunia.

"Di samping itu, peserta acara juga akan memiliki kesempatan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan mental gratis dengan psikolog profesional," kata Sandersen.

Baca Juga: