» APBN yang cukup berat perlu dijaga untuk melanjutkan proses pembangunan.

» Desain anggaran mestinya tidak hanya memperkuat konsumsi, tetapi juga mendorong sektor produktif.

JAKARTA - Pemerintah berupaya keras meminimalkan risiko terjadinya penyimpangan dengan berupaya membuat akuntabilitas dari setiap transaksi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2020.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR di Jakarta, Senin (6/9), mengatakan upaya meminimalisir penyimpangan itu termasuk pada transaksi belanja penanganan Covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) 2020.

Sejak awal, kata Menkeu, pemerintah terus menjalankan berbagai program pengawasan dan memperkuatnya, bahkan pada saat membahas perencanaan dari desain program dan alokasi anggaran. Salah satunya dengan melibatkan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), aparat penegak hukum, serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dari pemerintah.

BPK, kata Menkeu, melaksanakan pemeriksaan dengan pendekatan audit menyeluruh atas pelaksanaan APBN tahun anggaran 2020, khususnya atas implementasi PC-PEN 2020. "BPK menggunakan seluruh jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan laporan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu," kata Menkeu.

Akuntabilitas dan transparansi itulah klaim Menkeu yang menjadikan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2020 mendapat opini Wajib Tanpa Pengecualian (WTP).

Perlu Dijaga

Guru Besar Ekonomi dari Universitas Brawijaya, Malang, Candra Fajri Ananda, yang diminta pendapatnya mengatakan APBN 2020, menghadapi tantangan yang sangat berat, sehingga harus disesuaikan termasuk membuat perpu untuk menyikapi pandemi yang sangat dahsyat menghantam perekonomian.

"Pandemi menekan kuat sisi produksi dan permintaan yang berujung pada kontraksi perekonomian yang cukup dalam. Dalam suasana seperti itu, tentu aktor utama perekonomian adalah pemerintah, karena swasta terpuruk. Maka APBN yang cukup berat ini dan bermanfaat, perlu dijaga untuk melanjutkan proses pembangunan terutama penanganan kesehatan, perlindungan sosial, dan insentif usaha agar pemulihan ekonomi mampu jump up," kata Candra.

Untuk itu, kepercayaan masyarakat perlu dijunjung dan dijaga dengan menjaga tata kelola APBN, bersih dan jauh dari fraud atau tindakan korupsi," tegasnya.

Terlalu Kaku

Sementara itu, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan untuk mencegah penyimpangan penggunaan APBN harus ada perencanaan, monitoring, dan evaluasi dari penggunaan dana APBN agar target program pemerintah tercapai.

"Indikatornya tidak hanya dengan berapa besar penyerapan anggaran. Namun juga harus ada indikator lainnya seperti kasus Covid turun, angka kemiskinan turun, jumlah pengangguran turun, dan sejumlah indikator lainnya," kata Esther.

Selama ini, kata dia, indikatornya terlalu kaku karena hanya pada besaran serapan, tidak dikaitkan dengan indikator makroekonomi, sehingga terbuka peluang, hanya sekadar menghabiskan anggaran. "Makanya, bantuan sosial (bansos) terkesan sekadar disalurkan, untuk konsumsi, tidak untuk mendorong produktivitas," kata Esther.

Begitu juga dengan belanja pegawai yang dipaksa dihabiskan, tetapi tidak memberi kemudahan layanan bagi masyarakat, misalnya, anggaran perjalanan dinas dan rapat-rapat di hotel.

Desain anggaran, paparnya, seharusnya tidak hanya untuk memperkuat konsumsi, tetapi juga mendorong sektor produksi agar agar kemiskinan dan pengangguran berkurang.

Secara terpisah, Pakar Ekonomi dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan evaluasi yang disampaikan BPK seharusnya ditindaklanjuti.

Perencananan dan realisasi pun harus ditinjau ulang untuk mengetahui ada tidaknya penyimpangan, ketidatercapaian dan dampak yang tidak jelas kepada masyarakat.

"Review dari BPK jangan dianggap formalitas saja. Perlu juga melibatkan partisipasi masyarakat, baik lewat DPR dan masayarakat langsung, diperkuat lagi," kata Aditya.

Sekjen Fitra, Misbah Hasan, pada kesempatan lain mengatakan perlu audit investigatif pada penggunaan anggaran untuk mengetahui ada tidaknya niat jahat atau sengaja melakukan pemborosan anggaran hingga ke potensi penyimpangan.

"Kalau ada seharusnya ditindaklanjuti ke ranah pidana, seperti dalam kasus bantuan sosial di Kementerian Sosial," kata Misbah.

Baca Juga: