» Aliran modal asing ke pasar SBN dari 1-26 Januari 2023 tercatat 48,08 triliun rupiah.

» Upaya memacu konsumsi harus dibarengi dengan penyerapan produk lokal bukan impor.

JAKARTA - Di tengah masih tingginya gejolak ekonomi global, Bank Indonesia (BI) menyatakan perlunya tetap waspada, namun optimistis perekonomian nasional akan tetap tumbuh. Bank sentral bahkan optimistis ekonomi Indonesia pada 2023 bisa mengarah ke level 5 persen jika konsumsi digenjot dan meningkat signifikan.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam peluncuran Laporan Perekonomian Indonesia (LPI) 2022 dan Kajian Ekonomi dan Keuangan Syariah (KEKSI) 2022 mengatakan BI memperkirakan pada 2023 pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tumbuh berkisar 4,5-5,3 persen, dan kemungkinan bisa mengarah ke 5 persen jika konsumsi meningkat.

Hal itu, jelasnya, didasarkan pada inflasi inti pada semester I-2023 dipastikan berada di bawah 4 persen, dan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) akan kembali ke dalam sasaran di bawah 4 persen pada semester II-2023.

"Bandingkan dengan dunia yang masih inflasi tinggi. Kami perkirakan bahwa transaksi berjalan akan balance sekitar 0 persen, neraca pembayaran surplus, aliran modal telah masuk, dan Insya Allah akan banyak masuk tidak hanya penanaman modal asing, tapi juga investasi portfolio," kata Perry.

Selama periode 1 hingga 26 Januari 2023, aliran modal asing masuk bersih tercatat 48,08 triliun rupiah di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Hingga 17 Januari 2023, investasi portofolio mencatat arus masuk bersih (net inflow) sebesar 4,6 miliar dollar AS.

Masuknya aliran modal asing itu membuat Perry yakin nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan menguat karena seluruh faktor fundamental ekonomi memberikan justifikasi dasar untuk penguatan nilai tukar rupiah.

"Pertumbuhan tinggi, inflasi rendah, neraca pembayaran surplus dan prospek ekonomi yang baik, dan itu mendasarkan keyakinan kami bahwa rupiah akan menguat setelah tentu saja gejolak global ini semakin mereda," kata Perry.

Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda, yang diminta tanggapannya mengatakan sejatinya tidak ada yang salah dengan main driver pertumbuhan ekonomi adalah sektor konsumsi rumah tangga, namun suplai konsumsi harus didominasi barang dari domestik, terutama produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) lokal.

"Dengan begitu, multiplier effect-nya akan besar ketika konsumsi domestik tinggi," kata Nailul.

Selain itu, juga harus ditopang oleh investasi yang tinggi untuk mensuplai kebutuhan domestik. Dengan investasi yang tinggi maka bisa menyerap tenaga kerja lokal dan mengentaskan kemiskinan. "Ini yang perlu diupayakan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas," katanya.

Di luar konsumsi dan investasi, ekspor juga sangat berkontribusi mendorong pertumbuhan. "Mengandalkan konsumsi saja tentu tidak cukup, karenanya ekspor sangat perlu digenjot termasuk diversifikasi pasar. Kenapa perlu digenjot, karena kontribusi ke Produk Domestik Bruto (PDB) masih relatif kecil," katanya.

Produk Dalam Negeri

Sementara itu, pakar ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Imron Mawardi, mengatakan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan konsumsi dalam negeri adalah hal yang sehat, selama itu dipenuhi dengan menyerap produksi industri dalam negeri.

"Negara kita memang unik karena 58 persen PDB-nya adalah konsumsi dalam negeri. Dengan jumlah penduduk yang besar menjadi modal untuk mendorong pertumbuhan lewat konsumsi rumah tangga. Tingginya tingkat konsumsi akan mendorong tumbuhnya industri dan investasi. Jadi, selama kebutuhan konsumsi itu dapat memberikan multiplier effect ekonomi maka positif, bukan dipenuhi dari impor," kata Imron.

Maka tantangannya adalah bagaimana pemerintah dapat meningkatkan hilirisasi industri untuk meraih peluang tersebut.

Pada kesempatan lain, pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan ekonomi nasional memang tidak 100 persen ditentukan oleh gerak ekonomi global, terlebih jika negara tersebut mampu mengelola sisi domestik ekonominya dan masih memiliki peluang ekspor.

Namun, hal yang paling penting dilakukan saat ini adalah kelanjutan pengendalian inflasi agar tidak membatasi ketat gerak pelaku-pelaku ekonomi. Selain itu, harus memastikan ketersediaan dan keterjangkauan bahan pokok.

Baca Juga: