JAKARTA - Upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional di tengah potensi ancaman krisis ekonomi dan krisis pangan global tidak semudah yang diperkirakan. Ada banyak dimensi yang terlibat dan perlu sinkronisasi untuk mewujudkan ketahanan pangan tersebut.
"Bukan hanya menyoal ketersediaan, namun juga dari segi pemanfaatan, akses, keberlanjutan, hingga seberapa bebas individu untuk menentukan pilihan makanannya," kata Peneliti Lembaga Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Aditya Alta, di Jakarta, Jumat (21/10).
Aditya menyebutkan bahwa seluruh pihak terkait tersebut perlu bahu-membahu bekerja sama lantaran kompleksnya dimensi dan banyaknya aktor yang terlibat dan cukup sulit untuk memuaskan keseluruhannya. Beberapa hal mungkin menguntungkan bagi salah satu aktor, tetapi mungkin akan merugikan aktor lainnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia, Muhammad Nuruddin, menyampaikan bahwa adaptasi modernisasi pertanian untuk meningkatkan produksi dalam rangka ketahanan pangan nasional dinilai masih menjadi tantangan bagi para petani, karena kuatnya kohesi sosial petani, sehingga modernisasi sering kali justru mengancam kesejahteraan petani kecil.
Menurut Aditya, kesejahteraan petani berkaitan erat dengan diversifikasi pendapatan seperti variasi komoditas yang ditanam atau pendapatan dari kegiatan lain di luar pertanian. Selain itu, pembangunan kewilayahan yang naik-turun juga mempengaruhi pola adaptasi petani.
Aditya mengapresiasi berbagai bantuan seperti alat mesin pertanian yang diberikan kepada petani dari pemerintah ataupun swasta. Namun, harus ada pemetaan untuk modernisasi pertanian di sejumlah wilayah.
Pakar Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Suryo Wiyono, mengatakan tantangan ketahanan pangan ke depan semakin kompleks karena meningkatnya masalah hama, penyakit, dan cekaman abiotik, seperti kekeringan, banjir, lahan salin, hujan asam, dan suhu ekstrem, di samping tantangan lainnya yang sifatnya eksternal.
Secara khusus, ia menyoroti ancaman produksi karena meningkatnya hama penyakit. Ini menyebabkan kerugian seperti penurunan produksi dan penurunan pendapatan petani. "Hal ini bisa menyebabkan penurunan derajat ketahanan pangan dan meningkatnya ancaman kerawanan pangan," terangnya.
Karena itu, ia menyarankan penggunaan mikroba untuk mengurangi dosis pupuk sintetik dengan cara meningkatkan ketersediaan hara tanah, efisiensi penyerapan hara oleh tanaman, dan mengurangi kehilangan hara.
Menurut Suryo, hal ini sangat penting di tengah sulitnya memproduksi pupuk karena bahan baku yang tergantung negara lain, juga penting untuk membantu petani yang makin sulit mendapatkan pupuk.
Ancaman krisis pangan harus dijawab dan dimulai dengan penguatan produksi. Penggunaan mikroba pada usaha budi daya menjadi salah satu cara yang penting.