Sejumlah daerah kini sudah menerapkan kebijakan new normal yang memberikan akses bagi masyarakat untuk kembali beraktivitas, tapi dengan sejumlah protokol kesehatan yang mesti dipatuhi, termasuk di kantor-kantor baik pemerintah maupun swasta.

Terkait dengan hal itu, Koran Jakarta mewawancarai secara daring Ketua Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (Perdoki) yang juga Dosen Spesialis Kedokteran Okupasi UI, Dr dr Astrid Widajati Sulistomo, MPH, Sp.Ok, usai ia memaparkan rekomendasinya pada diskusi daring yang digelar Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), Selasa (16/6). Berikut petikan wawancaranya.

Apakah yang harus dilakukan pimpinan perusahaan jika kantor sudah mulai dibuka?

Perusahaan harus mulai memetakan divisi mana yang perlu work from home (WFO) atau bekerja di rumah, dan mana yang tak bisa WFH. Selain itu, juga perlu ditekankan pentingnya penilaian risiko pekerja dan kebijakan yang dapat melindungi pekerja.

Bagaimana pemetaan risiko pekerja yang bisa diterapkan perusahaan?

Pemetaan risiko tersebut dibagi menjadi risiko individu dan risiko pekerjaan. Individu dengan usia muda dan tidak memiliki penyakit penyerta (komorbid) bisa masuk pemetaan risiko warna hijau yang artinya aman.

Bagaimana dengan pekerja yang sudah usia?

Sedangkan pekerja paruh baya dan lansia terutama yang memiliki komorbid, masuk kategori kuning dan merah yang artinya berisiko tinggi.

Untuk pekerja secara umum, bagaimana?

Selain perusahaan, para pekerja pun harus menerapkan protokol kesehatan yang tinggi. Pekerja juga harus terus menjaga jarak, menggunakan masker, bawa baju ganti, serta meningkatkan daya imunitas. Jangan lagi menggunakan peralatan makan dan salat bersama-sama. Tim K3 perusahaan pun harus melakukan pemantauan ketat terhadap karyawan.

Bagaimana jika ada pekerja yang masuk kategori ODP atau PDP?

Ketika ada pekerja yang masuk orang dalam pemantauan atau ODP maupun pasien dalam pemantauan (PDP), mesti dicatat. Jika ada kasus, perlu dilihat pemetannya lalu ditelusuri jejaknya, siapa saja orang yang bertemu dengan orang positif.

Soal skrining dan identifikasi pekerja sesuai anjuran WHO?

Mengenai hal ini, aranya dengan melakukan pengukuran suhu dengan thermal scanner. Jika suhu tubuh lebih dari 37,3 derajat, maka pekerja tidak boleh masuk kerja. Perusahaan juga harus memantau gejala-gejala awal seperti demam, batuk, sakit tenggorokan, dan lemas. Pengawasan ini dapat dilakukan setiap hari pada saat pekerja masuk.

Jadi, untuk aman bekerja di kantor apa lagi yang dibutuhkan?

Perlu juga adanya rekayasa engineering untuk jarak antar pekerja, sirkulasi udara, serta kontrol administratif. Perlu adanya penjadwalan kerja. Selain itu pekerja tidak boleh memiliki jam kerja di atas 8 jam. Perusahaan juga tidak boleh mengumpulkan pekerja dalam jumlah banyak. Semua kebijakan harus siap sehingga tidak menimbulkan kebingungan pekerja.

Imbauan untuk kalangan perusahaan?

Selain berbagai pemantauan, Perdoki juga mengimbau perusahaan untuk melakukan pencegahan. Pencegahan memiliki tingkatan keamanan. Alat pelindung diri masuk yang paling bawah. Kemudian pentingnya melakukan disinfeksi 2 - 4 kali sehari, serta penyediaan hand sanitizer. n suradi/AR-3

Baca Juga: