Oleh Antoni Putra

Dari Focus Group Discussion (FGD) Bappenas dengan mengundang kementerian, lembaga, biro hukum, serta kanwil hukum dan HAM daerah 12-13 Desember 2018, terdapat beberapa masalah dalam pembentukan regulasi yang muncul baik saat pembentukan maupun implementasi, di antaranya ego sektoral kementerian, sehingga peraturan menteri (PM) tumpang tindih. PM mengatur masalah yang sama dengan ketentuan berbeda.

Kondisi ini menyebabkan kebingungan daerah dan masyarakat. Apalagi peraturan yang dikeluarkan berlaku secara bersamaan dan mengikat secara umum. Akibatnya, pembentukan regulasi tidak memberi terang masalah, tapi malah semakin mengaburkan kepastian hukum.

Ada peraturan daerah (perda) pesanan dari pusat. Pemerintah pusat memerintahkan pemda membentuk perda tertentu melalui imbauan atau surat edaran menteri. Memang tidak ada paksaan, namun jika perintah itu tidak dilaksanakan, maka akan berdampak terhadap penilaian kepatuhan pemda dengan memberi penilaian buruk.

Akibatnya, pemerintah daerah pun terpaksa membentuk regulasi sesuai dengan pesanan. Tak heran, kadang sebuah regulasi tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebab, setiap daerah memiliki karakteristik dan kebutuhan regulasi berbeda-beda. Malah ada pemda yang hanya copy paste regulasi daerah lain.

Selain itu, banyak regulasi hanya untuk mengejar anggaran. Padahal regulasi tersebut sama sekali tidak dibutuhkan. Keadaan ini juga menyebabkan banyak regulasi tanpa pengajian matang atau tidak memiliki naskah akademik yang menjadi syarat pembuatan regulasi.

Setelah berlaku juga banyak masalah. Contoh, keberadaan PM yang lebih ditakuti dari peraturan pemerintah (PP) dan UU di level daerah. Akibatnya, pemda tidak lagi merujuk pada PP dan UU dalam membentuk regulasi, tapi PM. Sementara itu, PM terkadang juga bertentangan dengan aturan di atasnya atau UU induk.

Banyak ditemukan isi PM dan perda tidak semestinya. Materi UU malah dijadikan muatan PM atau perda. Ada juga perda yang isinya gabungan PM dan UU. Regulasi seperti ini jelas tidak dibutuhkan.

Regulasi sekarang dinilai terlalu banyak. Berdasarkan pemaparan tim backround study Reformasi Regulasi Bappenas, Indonesia telah mengalami obesitas regulasi. Ada hampir 42.000 regulasi mulai dari UU hingga peraturan wali kota/bupati (catatan regulasi sampai 2015). Ini dampak massifnya pembentukan regulasi kementerian maupun daerah.

Ada regulasi di kementerian sampai 1.000 peraturan. Kementerian Keuangan memiliki terbanyak (1.288 PM) dalam rentang 2014-2018. Secara berturut posisi berikutnya adalah Kementerian Perhubungan (683), Kementerian Dalam Negeri (560), Kementerian ESDM (452), dan Kementerian Pendidikan (426). Kemudian, Kementerian Kesehatan 392, Kementerian Perdagangan 370, dan Kemenristekdikti 284.

Kementerian angkanya tidak berbeda jauh. Ini menunjukkan, ada pertumbuhan regulasi yang tidak terkendali karena mindset bahwa setiap kebijakan harus disertai peraturan. Padahal, bila melihat hierarki Peraturan Perundang-undangan dalam UU No 12 Tahun 2011, PM tidak masuk ke dalam hierarki tersebut. Artinya, PM tidak mempengaruhi signifikan penyelenggara negara.

Wewenang

Maka, perlu dibentuk lembaga khusus regulasi yang berwenang mengontrol dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan bentukan pemerintah pusat dan daerah. Lembaga khusus regulasi ini juga juga dapat menjadi obat meredam ego sektoral kementerian dan lembaga yang selama ini "berlomba-lomba" mengeluarkan regulasi. Dengan demikian, tentu kemungkinan tumpang tindih perundang-undangan diminimalkan.

Hanya, kewenangan lembaga khusus regulasi perlu diperjelas. Apakah berwenang mengontrol regulasi dengan membatalkannya yang bermasalah atau mengoreksi sebelum disahkan. Jika merujuk UUD 1945, tugas tepat adalah berwenang mengontrol dan mengoreksi peraturan perundang-undangan sebelum disahkan. Sebab, bila kewenangannya sampai ke tahap membatalkan regulasi yang dinilai bermasalah, diprediksi dia hanya akan bertahan sampai adanya judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).

Selain itu, ini hanya mengulang kesalahan yang sama, memberi kewenangan ke lembaga, di luar Mahkamah Agung untuk membatalkan peraturan perundang-undangan di bawah UU. Pada 2016, Kementerian Dalam Negeri membatalkan 3.143 perda bermasalah.

Namun, kewenangan Kemendagri ini kemudian diuji di MK. Kemudian, MK membatalkan peraturan perundang-undangan di bawah UU sepenuhnya menjadi kewenangan Mahkamah Agung melalui mekanisme uji materi (judicial review).

Kemudian, apakah akan membentuk lembaga baru secara fisik atau hanya memberi kewenangan baru kepada lembaga yang sudah ada. Jika pilihannya membentuk lembaga baru secara fisik, tentu harus diikuti pengajian matang. Jangan sampai lembaga tersebut hadir malah menambah masalah baru.

Jika pilihannya memanfaatkan lembaga yang sudah ada, tentu upayanya ini akan jauh lebih mudah karena tidak perlu lagi mendesain lembaga baru secara fisik. Tinggal mendesain kewenangannya. Maka, pemerintah dapat mengoptimalkan peran lembaga yang selama ini dapat dikategorikan memiliki peran minim dalam penyelenggaraan negara.

Selain itu, daripada membentuk lembaga baru secara fisik, pemberian kewenangan tambahan kepada lembaga yang selama ini membidangi pembagunan dan pembaruan hukum agar berjalan lebih lebih optimal, juga perlu dipertibangkan. Misalnya, mengoptimalkan peran BPHN dan Bappenas atau membebankan kepada lembaga lain yang berada langsung di bawah presiden.

Terlepas dari berbagai masalah, pembentukan lembaga khusus regulasi memang diperlukan. Dia akan bermanfaat dalam menata regulasi.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia

Baca Juga: