PDI Perjuangan dan sejumlah parpol pendukung Presiden Joko Widodo mengusulkan dilakukannya amendemen terbatas terhadap UUD 1945. Mereka ingin mengembalikan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara.

Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR akan diberikan kewenangan membuat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Agenda strategis tersebut baru akan dibahas oleh MPR RI periode 2019-2024.

Untuk mengupas hal tersebut lebih lanjut, Koran Jakarta mewawancarai pakar hukum tata negara Universitas Indonesia (UI), Fitra Arsil, di Jakarta, Selasa (13/8). Berikut petikannya.

Bagaimana pendapat Anda terkait usulan MPR periode 2019-2024 melakukan amendemen terbatas UUD 1945?

Menurut saya, melihat soal amendemen, kita tidak perlu anti terhadap amendemen. Wajar-wajar saja kalau kita memerlukan amendemen UUD 1945. Terakhir amendemen kan tahun 2002. Memang masih banyak persoalan-persoalan yang membutuhkan jalan keluar. Dari jangka waktu, sudah 17 tahun yang lalu kita melakukan amendemen, jadi wajarwajar saja kita melakukan evaluasi terhadap konstitusi kita.

Lalu, apa saja yang harus diperhatikan MPR dalam melakukan amendemen UUD?

Yang perlu diperhatikan dalam melakukan amandemen, MPR harus teliti. Dalam arti, punya kajian yang jelas, karena yang terkait dengan konstitusi ini kita harus komprehensif. Jadi, saya menyarankan kita harus buat kajian yang komprehensif tentang amendemen, apa yang menjadi persoalan kita. Misalkan, kita ingin mengokohkan ideologi Pancasila. Apa yang bisa mengokohkan itu? Misalkan, kita mengevaluasi pembentukan sistem pemerintahan kita. Jadi, kita bicara konsep-konsep dasar terlebih dahulu. Nanti baru fitur-fitur dalam memperkuat sistem pemerintahan. Jangan sampai kita memperbaiki sisi yang lain, sementara sisi yang lain tidak kita perbaiki.

Bagaimana dengan wacana perlunyan GBHN?

Kalau kita bicara GBHN, kita letakkan posisi pemerintahan kita letakkan di mana. Jangan sampai mengganggu sistem check and balances pemerintahan. Dalam sistem presidensiil, presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Jangan sampai problem, nanti pelaksanaan GBHN bisa mempengaruhi legitimasi presiden. Kita harus membicarakan lebih lanjut mekanisme kontrolnya.

Menurut Anda, seberapa penting GBHN itu?

Kalau kita bicara soal GBHN sebagai instrumen perencanaan yang efektif, saya menilai dalam tingkat tertentu diperlukan. Yang harus diperhatikan, kita perlu bicara soal implementasi pelaksanaannya bagaimana. Misalnya, bagaimana eksekusi ketika GBHN tidak dilaksanakan, bagaimana mekanisme kontrolnya, jangan sampai menimbulkan instabilitas pemerintahan dengan mempengaruhi legitimasi presiden.

Lalu, mekanisme kontrol yang baik itu seperti apa?

Tetap menurut saya, mekanisme kontrolnya harus dilakukan DPR RI, bukan MPR RI. Lembaga kontrolnya tetap DPR, karena DPR merupakan wakil langsung dari rakyat. Hal ini agar tidak menabrak dasar sistem pemerintahan kita yang menganut sistem presidensiil.

Kemudian, ada yang mengkritik bahwa GBHN akan membatasi kreativitas presiden terpilih, pendapat Anda?

GBHN kan program jangka panjang, dibuat untuk 20 tahun atau 25 tahun ke depan. Namanya Garis Besar Haluan Negara. Yang kita sepakati di GBHN itu model pembangunan jangka panjang. Jadi, cita-cita bangsa kita, bukan program-program teknis.

Seperti kita menyepakati Undang- Undang Dasar kan kita sepakati untuk jangka panjang. Artinya, di tingkat program, presiden tetap bisa berkreativitas. Tetapi, GBHN juga harus mengikuti perkembangan zaman, dalam artian sewaktuwaktu dapat dilakukan amendemen terhadap GBHN.

trisno juliantoro/P-4

Baca Juga: