Kemampuan negara untuk membiayai pendidikan tinggi masih sangat terbatas. Oleh karena itu, perlu gotong royong untuk meningkatkan kualitas pendidikan demi menciptakan SDM yang berkualitas.

Presiden RI, Joko Widodo, menjadikan pembangunan sumber daya manusia (SDM) unggul sebagai visi pemerintahan periode 2019-2024. Di dalamnya, pendidikan menjadi bagian penting untuk mewujudkan visi tersebut. Pemerintah juga mengeluarkan berbagai kebijakan di sektor pendidikan seperti salah satunya peningkatan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang bisa diakses para mahasiswa.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) juga mengeluarkan berbagai kebijakan transformatif dalam berbagai episode Merdeka Belajar. Perguruan Tinggi juga bertransformasi dengan adanya Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).

Kampus juga mesti menyelenggarakan program pengabdian dan penelitian. Kampus juga bisa bekerja sama dengan industri sehingga mampu memberi dampak pada perekonomian.

Meski begitu, banyak tantangan yang dihadapi perguruan tinggi. Untuk mengetahui tentang kondisi perguruan tinggi di Indonesia, wartawan Koran Jakarta, Muhamad Ma'rup, mewawancarai Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek, Prof. Ir. Nizam, M.Sc, DIC, Ph.D, IPU, ASEAN.Eng, dalam beberapa kesempatan. Berikut petikan wawancaranya.

Bisa Bapak jelaskan secara umum tentang pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia?

Dari segi pendanaan negara untuk perguruan tinggi, sebagai gambaran di Malaysia, Anggaran Kementerian Pendididikan Tinggi Malaysia hampir sama dengan APBN pendidikan tinggi kita. Tapi penduduk malaysia sepersepuluh kita. Perbedaan mahasiswanya 10 kali lipat kita lebih banyak, tapi anggarannya hampir sama.

Untuk total subsidi pemerintah contoh ke Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) pada tahun 2019 itu total 2,389 triliun rupiah. Bandingkan dengan Universitas Indonesia (UI) yang mendapat dana dari APBN sebesar 511 miliar rupiah. Padahal mahasiswa UI jumlahnya dua kali dari UKM. Per mahasiswa UKM subsidinya 57 juta rupiah per tahun. UI baru mampu membiayai 11 juta per tahun. Jadi seperlimanya.

Jadi, ini memberi gambaran bagi kita bahwa kemampuan negara untuk membiayai pendidikan kita itu sangat terbatas. Makanya kita perlu gotong royong. Bergandengan tangan.

Bisa Bapak lebih jelaskan terkait pembiayaan pendidikan secara gotong royong?

Berbeda dengan pendidikan dasar, bayangkan kalau masyarakat kita buta huruf, betapa kolapsnya ekonomi kita. Pendidikan dasar penting untuk menjadikan anak-anak kita bisa calistung (baca, tulis, menghitung) paling tidak. Sebagai negara harus full membiayai pendidikan dasar dan menengah. Itu ada dalam UU Dasar dan UU Sisdiknas untuk wajib belajar 12 tahun.

Pendidikan tinggi memandang di mana pun di dunia, itu punya social return, tapi juga private return. Ada yang memberi manfaat langsung kepada si mahasiswa. Ketika dia lulus, beda nilainya ketika dia lulusan SMP. Seorang insinyur di masyarakat lebih tinggi dari lulusan SD. Jadi, itu ada private return yang beda. Sehingga layak si orang tua mahasiswa ikut membiayai pendidikan tinggi. Itu prinsip yang harus kita pahami. Karena itulah, kita dalam pembiayaan pendidikan tinggi harus gotong royong.

Kerap ada masyarakat meminta agar kuliah harus gratis. Bagaimana tanggapan Bapak tentang hal tersebut?

Seandainya negara sangat kaya seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan negara-negara eropa yang income per kapitanya sudah 10 kali lipat dari Indonesia serta seandainya seluruh penduduk Indonesia sudah rajin membayar pajak, harusnya pendidikan bisa gratis semuanya. Itu yang dituntut masyarakat. Pendidikan gratis, tapi siapa yang membayar.

Data mengatakan bahwa pembayar pajak di Indonesia itu baru 15 persen populasi yang ada. Itu pajak kita relatif rendah. Kita selalu membayangkan dengan negara-negara di skandinavia. Finlandia misalnya sekolah gratis dari PAUD sampai perguruan tinggi, tapi income per kapita jauh lebih tinggi dari Indonesia dan pajaknya itu 60 bahkan 70 persen.

Jadi memang masyarakatnya sudah mempercayakan urusan pendidikan, kesehatan, itu kepada negara. Seluruh income diserahkan ke negara untuk mengelola. Jadi, ini perlu kita untuk edukasi masyarakat.

Ada juga anggapan khususnya untuk Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) menerapkan praktik komersialisasi dan biaya kuliahnya lebih mahal. Bagaimana tanggapan Bapak?

Biaya kuliah di PTNBH harusnya lebih murah. PTNBH leluasa mengelola aset sehingga bisa menyubsidi proses belajar mengajar. Saya sudah mengumpulkan data biaya kuliah PTN Satuan Kerja (Satker) dan PTNBH. PTNBH cenderung lebih murah, UKT, dan sumbangan pembangunannya.

Kerap ada pandangan keliru terhadap komersialisasi yang identik dengan PTNBH. PTNBH lebih dinamis menggalang pendanaan, termasuk dalam memberdayakan aset yang dimiliki.

Jadi, komersialisasi itu sering kali salah dimaknai. Misal ada aset di PTN Satker, tapi tidak bisa diapa-apakan. Kalau di PTNBH bisa diberdayagunakan sehingga hasilnya bisa membiayai mahasiswa, membiayai gedung, meningkatkan mutu, dan sebagainya.

Adanya persepsi biaya kuliah PTNBH mahal sebab ada keluarga yang mampu masuk ke PTN sehingga membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) golongan tinggi. Padahal penentuan golongan UKT sendiri sudah disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa.

Kesadaran masyarakat untuk berinvestasi di pendidikan masih agak rendah. Kecenderungan orang tua membeli barang untuk investasi masih lebih penting daripada membiayai pendidikan anak-anaknya.

Nah, kemampuan membayar ini tergantung pada kemampuan orang tua. Anak konglomerat, masa bayarnya sama dengan anak tukang becak. Itu yang kita tekankan, yang mampu membayar sendiri, yang tidak mampu, kita bantu atau bahkan kita bebaskan.

Kemampuan negara membiaya pendidikan tinggi masih terbatas yaitu baru 28 persen dari biaya standar minimum pendidikan oleh pemerintah. Dengan begitu, butuh gotong royong dari masyarakat untuk ikut membiayai pendidikan tinggi. Prinsipnya gotong royong, yang bisa membiayai sesuai dengan sesuai kemampuan, yang tidak mampu kita bantu bersama-sama.

Gotong royong ini termasuk masyarakat membuka perguruan tinggi swasta (PTS)? Di sisi lain, masih kerap muncul anggapan adanya dikotomi antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan PTS.

Kalau negara kaya, tidak usah ada PTS. Negara semua menyelenggarakan. Karena dana kita terbatas, baru mampu 147 PTN yang mampu menampung 3,7 juta mahasiswa. Kalau masyarakat mau berpartisipasi, silakan dengan sukarela kita persilakan masyarakat untuk gotong royong menyelenggarakan pendidikan tinggi.

Tapi jangan sampai, pihak swasta merasa negara harus membiayai kita juga. Kalau negara membiayai, kenapa bikin PTS. Langsung saja PTN. Ini harus kita sadarkan.

Meski begitu, pemerintah tetap tidak abai terhadap PTS. Kita membiayai PTS banyak sekali. Bahkan, separuh anggaran pendidikan tinggi yang dikelola kementerian, itu 45 persen kita berikan untuk PTS mulai dari penelitian, pelatihan dosen, program dan beasiswa kemahasiswaan dan lainnya, itu yang membiayai negara. Bahkan beasiswa lebih banyak PTS dapat daripada PTN. Jadi itu, kita tetap hadir. Kita tetap peduli, tapi tidak mungkin PTS minta biaya dibantu sama dengan PTN.

Apakah keterbatasan anggaran ini menghambat peningkatan akses pendidikan tinggi?

Meskipun anggaran kita terbatas, alhamdulillah dari sisi akses peningkatan akses pendidikan tinggi sangat tinggi. Saat ini jumlah mahasiswa sudah 9,5 juta mahasiswa. Setiap tahun hampir meluluskan dua juta mahasiswa. Kita memiliki 300 ribu dosen yang meneliti dan mengabdi pada masyarakat.

9,5 juta tadi, hampir delapan juta di bawah Kemendikbudristek, 1,5 juta ada di Kementerian Agama dan kementerian lain. Ada 81 perguruan tinggi di bawah kemenag dan 135 PT di bawah kementerian dan lembaga lain.

Kita sekarang sudah punya empat ribu lebih perguruan tinggi. Sudah dua kali lipat dari jumlah perguruan tinggi di Tiongkok yang penduduknya lima kali lebih banyak dari Indonesia. Tiongkok itu jumlah perguruan tingginya 2.500 perguruan tinggi. Kita sudah 4500.

Apakah jumlah tersebut sudah memenuhi target? Bagaimana dengan akses pendidikan tinggi di luar Jawa?

Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi target kita berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) mencapai 37 persen di 2024. Dengan 9,5 juta dibagi populasi itu per 2022 target ini sudah tercapai kalau dibagi populasi mahasiswa dan usia 19-25 tahun itu sudah sekitar 39 persen.

Masyarakat berpikir bahwa di luar Jawa akses endidikan sulit daripada di Jawa. Faktanya, tidak seperti itu. Papua barat APK-nya tinggi urutan keenam di Indonesia. Jadi lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Justru Jawa Barat, Bangka Belitung, Jawa Tengah masih tertinggal dari rata-rata nasional.

Jadi, askes itu bukan hanya di luar Jawa. Di Jawa juga masih ada kantong-kantong yang kesulitan akses pendidikan tingginya.

Dengan jumlah perguruan tinggi yang banyak, bagaimana dengan kualitasnya, mengingat waktu lalu juga ada perguruan tinggi yang dicabut izinnya?

Yang kecil-kecil ini tentu sulit untuk tumbuh kembang dengan baik. Masuknya saja 300 bagaimana mau maju, membiayai operasional saja sudah habis. Sehingga kita dorong perguruan tinggi ini untuk kita rasionalkan. Di Indonesia sebenarnya cukup 2.000 perguruan tinggi, tapi besar-besar.

Jadi, untuk memperluas akses bukan menambah perguruan tinggi, tapi dengan memperbesar perguruan tinggi. Sebagai orang tua, masukkan anaknya ke perguruan tinggi yang kampusnya seperti SD impres, dosen tidak jelas, mahasiswa 50. Apa berani masukin anaknya ke sana?

Ini melatarbelakangi kita menutup beberapa PTS karena mereka nakal. Supaya tetap hidup mereka memungut dari KIP untuk operasional perguruan tingginya. Mereka menggelembungkan data agar terlihat bagus. Mereka jual beli ijazah karena tidak sanggup menyediakan pembelajaran berkualitas.

Ini harus kita tutup karena kalau tidak rusak susu sebelangga. Perguruan tinggi lain akan kehilangan kepercayaan publiknya. Itu kenapa kita tutup dan cabut izin perguruan tingginya yang nakal. Setelah dibina dan diingatkan tidak bisa diperbaiki kita cabut izinnya. Ini membahayakan masyrakat dan marwah pendidikan tinggi kita.

Untuk target perguruan tinggi kita bersaing secara internasional seperti apa?

Meski anggaran kecil, perguruan tinggi kita bisa bersaing dan masuk ke ranking internasional. Di tahun 2023 ada 5 masuk dalam 500 besar. Itu target RPJMN-nya 5 perguruan tinggi Indonesia masuk 500 besar. Sudah tercapai di tahun 2022. Di bawah itu juga meningkat jumlah perguruan tinggi Indonesia yang masuk ranking dunia baik PTN maupun PTS.

Bagaimana dengan kondisi riset kita secara umum dan di perguruan tinggi?

Pendana riset masih sangat-sangat kecil. Indonesia baru 0,8 persen dari GDP. Indonesia masih tertinggal dari Kamboja untuk riset dan pengembangan. Dengan Thailand kita 7-8 kali lipat tertinggalnya. Dengan Vietnam kita tertatih-tatih. Maka di banyak sektor kita kalah dengan Thailand dan Vietnam.

Di beberapa negara Eropa yang saya kunjungi, posisi ekspor Indonesia ke negara tersebut sudah turun ke peringkat kelima di Asia Tenggara. Itulah pentingnya riset dan pengembangan. Contoh, buah-buahan kita sulit bisa bersaing dengan Thailand yang riset pertaniannya luar biasa didukung negara.

Dari dana riset yang sangat kecil itu, 74 persen pendanaan pemerintah. Pendanaan dari swasta atau sektor privat baru 26 persen. Seperempatnya. Kebalikan dari Thailand. Thailand itu 73 persen dari sektor privat dan dunia usaha dan dunia industri, pemerintah 27 persen. Demikian juga dengan Vietnam dan Singapura.

Industri kita, mohon maaf, lebih banyak biaya untuk iklan daripada riset dan pengembangan. Padahal kita bermimpi menjadi negara maju. Kuncinya dua, SDM unggul dan ekonomi berbasis inovasi.

Tugas itu ada di pundak kita pendidikan tinggi, riset, dan teknologi. Jangan pesimistis. Kita harus optimistis membangun negeri.

Bagaimana upaya mengakselerasi riset dan pengembangannya?

Di riset dan pengembangan itu kita ada matching fund. Ini kita lakukan karena anggaran kita terbatas. Fakta bahwa industri belum niat melakukan riset, tapi kita undang industri berinvestasi di riset dengan begitu maka pendanaan bisa lebih banyak datang ke perguruan tinggi baik dari pemerintah dan industri ke perguruan tinggi.

Ada lima tema prioritas yaitu green economy, blue economy, ekonomi digital, kesehatan, dan pariwisata serta industri kreatif. Kita buka tema lain, tapi ini prioritasnya. Mahasiswa juga terlibat untuk mendampingi dosen. Tahun 2022, seribu proposal anggaran 580 miliar rupiah dan kontribusi industri 700 miliar rupiah.

Kondisi dunia sangat dinamis dan perkembangannya cepat. Bagaimana perguruan tinggi merespons hal tersebut?

Kita menghadapi dunia yang penuh tantangan. Kemunculan Artificial Intelligent, misalnya akan mendisrupsi semuanya. Untuk menghadapi dan menyiapkan butuh SDM unggul.

Kita munculkan MBKM. Program MBKM saat ini, data dari program MBKM kita itu sudah hampir 500.000 keluar dari kampus. Ini waktu diluncurkan awal tahun 2020 banyak sekali kritik teman-teman di kampus untuk mengirim mahasiswa ke luar kampus.

Per 2022 sudah 480.000 mahasiswa mengikuti program di tingkat nasional. 251 ribu yang ikut MBKM di kampus. Jadi, kampus juga semangat bertransformasi menjadi perguruan tinggi masa depan.

Ini kita sampaikan ke tingkat internasional. Mereka mengapresiasi Indonesia bertransformasi tidak lagi pendidikan konvensional.

Memasuki tahun politik, bagaimana keberlanjutannya untuk tahun depan mengingat kerap ada anggapan ganti menteri, ganti kebijakan?

Kita terus mendorong MBKM ini, sebab ini upaya kita untuk mengakselerasi sarjana-sarjana kita. Untuk keberlanjutannya adalah bagaimana melihat ini dari kebermanfaatannya, sama seperti beasiswa. Kalau program beasiswa itu bermanfaat, maka akan terus lanjut. Ini juga yang kita harapkan terjadi di MBKM.

Baca Juga: