JAKARTA - Sistem logistik nasional perlu diperkuat demi mengoptimalkan permintaan dan pasokan dalan negeri. Penguatan tersebut diharapkan dapat membantu meredam dampak risiko resesi global tahun depan.
Chairman Supply Chain Indonesia (SCI), Setijadi, mengatakan potensi konsumsi di dalam negeri sangat besar yang tecermin dari populasi sebesar 273,87 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 3,69 persen pada 2021. Sementara itu, potensi suplai komoditas sangat beragam di berbagai wilayah.
"Dalam mengantisipasi ancaman resesi pada 2023, harus dilakukan penguatan dan peningkatan efisiensi logistik dan rantai pasok terutama untuk mengurangi ketergantungan terhadap rantai pasok global," kata Setijadi dalam keterangan tertulisnya, Minggu (23/9).
Dia menambahkan ketergantungan perdagangan dengan sejumlah negara harus dipertimbangkan sebagai langkah antisipasi atas risiko resesi di beberapa negara mitra, terutama Tiongkok sebagai mitra dagang terbesar Indonesia.
Berdasarkan data BPS, kata Setijadi, pada September 2022 nilai ekspor nonmigas Indonesia ke Tiongkok sebesar 6,16 miliar dollar AS atau 26,23 persen dari total ekspor nonmigas, sementara impor dari Tiongkok mencapai 5,69 miliar dollar AS atau 34,74 persen dari total impor nonmigas Indonesia.
"Ketergantungan ekspor-impor itu harus diwaspadai karena pertumbuhan ekonomi di Tiongkok beberapa waktu terakhir. Pada Kuartal II-2022 ekonomi Tiongkok tumbuh 0,4 persen (yoy) atau terkontraksi 4,4 persen dibanding kuartal sebelumnya," katanya.
Antisipasi juga harus dilakukan mengingat impor terbesar Indonesia adalah bahan baku/ penolong. Dari nilai impor pada September 2022 sebesar 19,81 miliar dollar AS, sekitar 75,21 persen berupa bahan baku/ penolong, 16,76 persen barang modal, dan 8,03 persen barang konsumsi.
Setijadi mengatakan, dalam jangka panjang, perlu dikembangkan rantai pasok beberapa produk dan komoditas dari hulu ke hilir untuk mengurangi ketergantungan impor.