JAKARTA - Untuk memerangi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian dalam proses kampanye pemilihan kepala daerah (Pilkada), polisi harus memperkuat penanganan kejahatan siber. Polisi harus menindak tegas penyebar hoaks dan ujaran kebencian di Pilkada.

"Hal itu perlu disinergikan dengan upaya keterbukaan informasi dan penindakan tegas bagi oknum yang melakukan cyber crime. Polisi punya instrumen alat pengecekan hoaks," kata pengamat politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin kepada Koran Jakarta, Minggu (15/3).

Menurut Ujang, kalau penyelenggara Pilkada kan tidak punya hak dan alat untuk itu. Polisi bisa melacak siapa penyebar hoaks melalui platform manapun, ditindak saja sesuai temuan yang ada.

Regulasi penanganan kejahatan siber pun perlu diperkuat. Ujang mengatakan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) perlu dibuat ketentuan pembatasan penyebaran hoaks. Hal itu sebagai landasan polisi dalam menindak kejahatan tersebut.

Jika tidak diperangi, polarisasi dan pembelahan masyarakat akan terus menjalar dengan cara penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang terus disebarkan. "Kampanye itu kan ada penyebaran ujaran kebencian pada lawan pasangan calon yang didukung, dan juga ada yang menyebarkan pencitraan yang baik pada pasangan calon yang didukung. Hal ini akan membuat keos," kata Ujang.

Rawan Kecurangan

Kemudian, tambah Ujang, dalam proses penghitungan suara, seringkali terjadi kecurangan yaitu oknum-oknum yang mengubah angka suara pemilih. Mereka biasanya bermain dengan panitia. Sering terjadi di daerah rawan yaitu daerah yang tidak terjangkau.

Oleh karena itu, penyediaan saksi perlu dioptimalkan. Sebab, tutur Ujang, jika terdapat saksi maka pengawasan dapat berjalan baik. Selain itu, aparat keamanan perlu melakukan pengawasan yang optimal dalam mengawal suara pemilih.

Dalam hal ini, penyelenggara Pilkada dan penegak hukum perlu bekerja profesional dan tidak tergiur tindakan yang melanggar nilai demokrasi. "Jangan sampai mereka dibayar untuk kepentingan orang-orang tertentu. Jadi kalau ada temuan, ya dihukum apa adanya. Jangan ditutupi seolah-olah tidak ada apa-apa," pungkasnya.

Sebelumnya, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ahmad Bakir Ihsan mengatakan proses pemutakhiran Daftar Pemilih Tetap (DPT) sering menjadi persoalan karena tingkat validitasnya yang lemah. Kerawanan dalam hal DPT ini terjadi saat pra Pilkada karena sumber datanya yang tidak terkontrol.

"Misalnya, sampai sekarang ada warga yang punya dua KTP. Ada orang meninggal masih terdaftar karena validasi data di tingkat RT atau kelurahan/desa belum terhapus. KTP elektronik (e-KTP) belum sepenuhnya berfungsi sebagai single data untuk identikasi warga," kata Ahmad.

Oleh sebab itu, tambah Ahmad, penyelenggara Pilkada diharapkan melakukan pengecekan berulang terhadap DPT. Check dan crosscheck harus terus dilakukan dan tetap memberi peluang untuk bisa memberikan suara bagi pemilih. dis/N-3

Baca Juga: