» Profil impor Indonesia lebih dari 90 persen dari bahan baku dan barang modal.

» Tanpa pertanian dan kemandirian pangan, akan sulit menghadapi berbagai potensi krisis ke depan.

JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) pada Januari 2023 masih surplus 3,87 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau lebih tinggi dibanding surplus pada Januari 2022 sebesar 0,93 miliar dollar AS.

Deputi Bidang Statistik Produksi, M. Habibullah, dalam konferensi pers, Rabu (15/2), mengatakan dengan capaian tersebut maka NPI telah surplus sejak Mei 2020 atau selama 33 bulan berturut-turut.

Surplus neraca perdagangan pada Januari 2023 itu disebabkan nilai ekspor yang lebih tinggi daripada nilai impor. Nilai ekspor Indonesia tercatat 22,31 miliar dollar AS, sedangkan impor 18,44 miliar dollar AS.

Surplus, jelas Habibullah, juga ditopang neraca komoditas nonmigas yang mengalami surplus 5,29 miliar dollar AS, terutama komoditas bahan bakar mineral, lemak, dan minyak hewan/nabati, serta besi dan baja.

Sementara neraca komoditas migas mengalami defisit 1,42 miliar dollar AS dengan penyumbang utamanya adalah minyak mentah dan hasil minyak. Adapun tiga negara yang menyumbang surplus neraca perdagangan tersebut adalah AS, Filipina, dan India.

Lebih lanjut, dia menjelaskan untuk impor, penurunan impor golongan barang nonmigas terbesar Januari 2023 dibandingkan Desember 2022 adalah mesin/ peralatan mekanis dan bagiannya senilai 434,0 juta dollar AS atau 14,95 persen. Sedangkan peningkatan terbesar adalah mesin/perlengkapan elektrik dan bagiannya 215,6 juta dollar AS atau 10,18 persen.

Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari 2023 adalah Tiongkok sebesar 5,32 miliar dollar AS atau 34,24 persen, Jepang 1,36 miliar dollar AS atau s8,76 persen, dan Thailand 0,90 miliar dollar AS atau 5,76 persen.

Menanggapi kinerja perdagangan itu, pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, mengatakan kendati surplus, namun tetap perlu mewaspadai penurunan impor mesin karena bisa jadi ada penurunan produksi manufaktur.

"Kalau impor turun sangat baik, tapi semestinya penurunan terjadi karena penguatan ekonomi domestik sebagai kunci ke depan," kata Maruf.

Dalam kesempatan terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky, mengatakan penurunan impor barang modal dipicu oleh beberapa faktor, pertama sisi eksternal. "Faktor ketidakpastian global masih cukup tinggi karena belum jelasnya langkah pengetatan moneter dari the Fed. Hal ini membuat investor dalam dan luar negeri masih mempertimbangkan apakah mereka akan melakukan ekspansi saat ini atau tidak," kata Riefky.

Kondisi tersebut mempengaruhi tendensi dari ekspansi tingkat produksi domestik dan mempengaruhi impor untuk barang modal dan bahan baku karena banyak pelaku bisnis yang menahan ekspansi. "Selain eksternal, faktor domestik lebih karena perilaku musiman. Biasanya di awal tahun faktor ekspansi pelaku bisnis dalam negeri belum terlalu agresif," katanya.

Dia memperkirakan ke depan akan lebih stabil baik dari eksternal maupun domestik, terutama domestik karena tren inflasi akan terus menurun dan lebih stabil dalam beberapa bulan ke depan.

Penuruan impor memang akan memengaruhi kinerja ekspor karena profil impor Indonesia lebih dari 90 persen bahan baku dan barang modal. "Jadi tampaknya akan mempengaruhi kapasitas produksi yang akhirnya memperlambat ekspor," kata Riefky.

Dorong Sektor Pertanian

Dari Surabaya, pakar ekonomi dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI), Surabaya, Leo Herlambang, mengatakan kenaikan dan penurunan nilai impor Indonesia sangat dipengaruhi dengan harga komoditas global. Namun, sebagai negara agraris, RI harus fokus mendorong pertanian yang punya potensi menjadi andalan ekspor.

"Kita perlu memikirkan bagaimana menghilirisasi komoditas agar lebih menguntungkan," kata Leo.

Apalagi, basis ekonomi Indonesia sebenarnya dari pertanian dan komoditas. Bahkan, sebagian dari komoditas juga berupa produk pertanian, bukan hanya tambang. Sebagai negara agraris, sebaiknya mengantisipasi segala persoalan terkait kebutuhan pangan.

"Perlu kebijakan kuat untuk mengangkat sektor pertanian. Tanpa pertanian dan kemandirian pangan, akan sulit untuk menghadapi berbagai potensi krisis ke depan," tuturnya.

Baca Juga: