Judul : Islam dan Kebebasan
Penulis : Nouh El Harmouzi & Linda Whetstone
Penerbit : Suara Kebebasan
Cetakan : 2017
Tebal : 214 hlm
Islam dan kebebasan masih terus dibahas. Salah satu sebabnya, keadaan umat Islam di berbagai negara secara umum masih alergi dengan kebebasan atau liberalisme dalam istilah lebih ilmiah. Liberalisme atau kebebasan tentu perlu dimaknai secara luas. Kebebasan individu, misalnya, harus dimaknai tidak hanya hidup secara umum, tapi juga beragama, berekonomi, dan berpolitik. Semua bermuara pada kehendak individu yang ingin memilih jalan hidup.
Secara sederhana, kebebasan bisa berarti keadaan setiap individu yang bebas dari gangguan atau intervensi orang lain. Tapi, bisa juga dimaknai kehendak individu yang tidak hanya bebas dari intervensi orang lain, namun juga memiliki cara untuk mewujudkan pilihan-pilihan hidupnya (hlm 13-14).
Dalam konteks sejarah Islam, kebebasan selalu terbentur syariat. Setiap muslim meyakini, syariat sebagai jalan hidup setiap individu. Namun, apakah syariat itu perlu diformalkan dalam sebuah tatanan masyarakat? Tentu, ketika syariat diformalkan, ada konsekuensi- konsekuensi yang perlu ditanggung seperti kebebasan untuk bermazhab dan sebagainya (hlm 25-29).
Abdullahi Ahmed An-Na'im (1990) mencatat, syariat pada dasarnya bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri. Namun, syariat merupakan produk pemahaman atau interpretasi terhadap teks suci yang berkembang dalam konteks sejarah tertentu. An-Na'im menekankan, syariat yang selama ini dipahami sebenarnya merupakan hasil ijtihad para ahli hukum perintis. Dengan demikian, syariat bisa direkonstruksi sesuai dengan perkembangan zaman bersifat dinamis, tak statis.
Proyek dekonstruksi syariat ala An- Na'im merupakan salah satu usaha menyelaraskan di masa lalu dengan kebebasan dunia Islam masa kini. Maka, perlu dipahami bahwa ide-ide kebebasan merupakan sesuatu yang tak bisa dinafikan sejak Islam awal hingga kini. Di kalangan filsuf, misalnya, ada Ibn Rusyd yang memiliki proyek rasionalisme Islam masa klasik.
Di kalangan teolog, ada Muktazilah yang menekankan pentingnya peran akal dalam rangka pengukuhan kebebasan individu (hlm 47-49). Dalam konteks sekarang, kebebasan masih menjadi pekerjaan rumah yang rumit di dunia Islam. Freedom House (2015) menunjukkan, hampir tidak ada negara yang kebebasannya terjamin di antara negara-negara muslim.
Tunisia, misalnya, satu-satunya negara Arab, menjadi harapan di mana indeks kebebasannya menjadi lebih baik setelah mengadakan pemilu demokratis di bawah konstitusi baru. Sementara itu, negara-negara tetangga lain, di Timur Tengah dan Afrika Utara khususnya, masih berkutat dengan peristiwa-peristiwa yang tidak menguntungkan. Artinya, kebebasan di negara-negara muslim masih menjadi tantangan besar.
Buku ini mau memotret secara sosiologis kendala mendasar berbagai persoalan tersebut. Buku diitulis para akademikus berbagai negara seperti Maroko, Pakistan dan AS. Isinya dari diskursus klasik hingga kontemporer.
Persoalan kebebasan berekonomi, misalnya, menjadi salah satu pembahasan menarik. Kebebasan berekonomi di Timur Tengah dan Afrika Utara bisa menjadi jalan menuju emansipasi perempuan. Hal ini tentunya bukan sebuah omong kosong di negara yang budaya patriarkatnya begitu kuat (108-112).
Dalam sejarah Islam, Khadijah merupakan contoh ideal. Ia adalah perempuan berkarier dan mempekerjakan Muhammad yang kelak menjadi suaminya. Kisah Khadijah merupakan contoh berkebalikan dari larangan kebebasan berekonomi bagi perempuan atas nama Islam.Diresensi Dida Darul Ulum, Lulusan Universitas Paramadina