Judul : Impian Perempuan

Penulis : Deka Amalia, dkk

Penerbit : Writerpreneur Club

Cetakan : Pertama, April 2017

Tebal : 323 halaman

ISBN : 978-602-6719-05-8

Sebagai manusia, perempuan juga memiliki impian baik bagi diri sendiri, anak, maupun keluarga. Dalam perjalanan hidup, sering kali impian dikalahkan bermacam kendala hingga rela menunda untuk mewujudkan. Buku Impian Perempuan merupakan antologi tulisan dari 47 perempuan dalam kisah inspiratif dan cerpen.

Ada kisah Elita dengan tiga anak yang ditinggalkan suami. Dia harus berjuang sendirian membayar utang, sekaligus menghidupi ketiga anak. Dalam perjalanan, dia menemukan jawaban atas segala persoalan hidup, kembali kepada Tuhan dan berserah kepada-Nya.

"Jika kau mencintai sesuatu secara berlebihan, maka Allah akan mengambilnya darimu. Dan Allah akan menguji hamba-Nya lewat apa-apa yang dicintai," katanya (hal. 20). Setelah kehidupan rohaninya dipulihkan, keadaan Elita berangsur membaik dan bisa melanjutkan mewujudkan mimpi membangun keluarga bahagia.

Ada juga kisah Yulitha, seorang perempuan yang memendam mimpi menjadi seorang penulis karena sibuk bekerja (hal 43-47). Tanpa disangka, karier yang dibangun dari bawah hancur dan terpuruk. Dia harus pindah kota. Di tempat baru, Yulitha mulai merajut kembali mimpinya menjadi penulis. Satu per satu buku mulai terbit. Pekerjaan tetap di kantor baru juga mulai mapan. Bahkan, dia mampu meraih gelar sarjana. Lewat persoalan hidup, Yulitha justru menemukan kekuatan untuk bangkit lagi dan meraih impian.

Stephanie Aryanti, seorang penulis dan mantan jurnalis, mengisahkan hidup yang sempat menjadi korban bullying. Keterbatasan fisik membuatnya minder dan tak mau bersosialisasi dengan lingkungan. Sampai akhirnya, dia tertarik pada dunia tulis-menulis. Beberapa karyanya yang dimuat di media cetak menghidupkan mimpi menjadi penulis. Karier jurnalistiknya pun makin bersinar. Akhirnya, Stephanie merasa bangga akan diri sendiri. Ia tak tagi minder dengan kondisi fisik dan terus menulis untuk menginspirasi banyak orang (hal 54-59).

Cerpen Teror karya Phalupi A Hero mengisahkan tentang Qori yang sejak kecil selalu dituntut menjadi sempurna oleh ibundanya. Saat telah menjadi ibu, Qori memaksa anak sulungnya terus belajar. Qori tak pernah puas dengan hasil belajar Nadif, yang di matanya tak pernah sempurna. Qori selalu membandingkan anaknya itu dengan dirinya di masa lalu. Dulu, ibunya selalu mewajibkan untuk belajar dan belajar, tak boleh ada waktu santai sedikit pun. "Main gak akan menghasilkan apa-apa. Percaya sama Umi" (hal 209).

Ucapan ibundanya selalu terngiang. Semua agar dia berhasil menjadi orang sukses. Nyatanya, kini Qori "hanya" menjadi ibu rumah tangga dengan tiga anak kecil. Ini sama sekali jauh dari impian ibunya menjadi wanita karier. Tuntutan untuk menjadi sempurna, rupanya membuat Qori stres dan kehilangan akal sehat. Akhirnya, tega membunuh anak-anaknya sendiri dengan sadis. Ibundanya hanya bisa menyesal, namun tak bisa berbuat apa-apa.

Sementara itu, dalam cerpen It's (Not) My Dream, Rayya harus berjuang menentang hati nuraninya sendiri demi mewujudkan mimpi sang kakak. Keinginan almarhum kedua orang tuanya untuk melihat kakaknya menjadi seorang dokter yang tak sempat terwujud, membuat Rayya harus rela menggantikan posisi kakaknya.

Dengan setengah hati, dia kuliah di fakultas kedokteran. Rayya hanya ingin segera lulus dan menjadi dokter, agar kakaknya senang. Tak disangka, ternyata untuk membayar biaya kuliahnya itu, sang kakak terpaksa menjual ginjalnya. Hal inilah yang menyadarkan Rayya untuk insyaf. Sejak itu, dia bertekad menjadi dokter terbaik agar bisa menolong sesama yang membutuhkan (hal 235-240).

Membaca buku ini membuat kita sadar bahwa untuk mewujudkan impian, diperlukan perjuangan. Meski begitu, mimpi yang belum terwujud tak seharusnya menjadi beban jiwa.

Diresensi Bety Sulistyorini, Sarjana Ilmu Politik Fisipol UGM

Baca Juga: