Judul : Douwes Dekker

Penulis : Tim Tempo

Penerbit : Gramedia

Cetakan : Pertama, Agustus 2017

Tebal : xii + 188 halaman

ISBN : 978-602-424-395-1

Selain para pribumi yang menjadi tokoh pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia, ternyata ada pula beberapa tokoh Belanda yang ikut bersumbangsih berjuang demi meraih kemerdekaan Indonesia. Salah satunya Douwes Dekker, yang memiliki nama lengkap Ernest Francois Eugene Douwes Dekker. Dia lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 8 Oktober 1879, berdarah campuran Belanda, Prancis, Jerman, dan Jawa.

Namun, meski bukan penduduk Indonesia tulen, semangat nasionalismenya lebih menggelora daripada penduduk Bumiputra. Dalam pergerakan revolusi, Douwes Dekker memiliki pemikiran dan gagasan yang melampaui zaman. Buku ini memaparkan tentang semangat perjuangan Douwes Dekker dalam meruntuhkan pemerintah Hindia-Belanda.

Dengan sifat kritis dan penuh keberanian, dia mengkritisi kekejaman pemerintahan Hindia-Belanda dan menolak diskriminasi. Hal inilah yang akhirnya membuat pemerintah Belanda berang dan menganggapnya agitator berbahaya.

Bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker mendirikan partai politik pertama di Indonesia, bernama Indische Partij, guna membangkitkan patriotisme orang Hindia untuk tanah yang memberi kehidupan. Juga mendorong bekerja sama atas dasar persamaan hak politik nasional guna mengembangkan tanah air Hindia. Tujuan lain, untuk mempersiapkan sebuah kehidupan bangsa yang merdeka (hal 26).

Kehadiran partai ini meniupkan roh di awal masa pergerakan dan merupakan fondasi penting nasionalisme Hindia. Douwes Dekker adalah organisator yang tidak pernah lelah berjuang. Dia mendedikasikan hampir seluruh hidup untuk kemerdekaan Indonesia. Douwes Dekker yang ternyata masih satu keturunan dengan Eduard Douwes Dekker, penulis buku Max Havelaar yang memiliki nama pena Multatuli, menyerukan ide pentingnya warga Hindia menjadi satu bangsa membangun kekuatan sendiri.

Dia sama sekali tidak gentar meski berkali-kali keluar masuk penjara dan diasingkan. Memang sejak dia menunjukkan sikap antipenjajah, Belanda lalu mengawasi dan menganggapnya berbahaya. Dia dianggap bisa mengompori Bumiputra untuk melawan pemerintah Hindia-Belanda sewaktu-waktu. Maka, ketika Douwes Dekker mendaftarkan izin Indische Partij, Beladan menolaknya. Partai dianggap berbahaya, mengancam kemananan, dan ketertiban umum.

Tapi, bukan Douwes Dekker jika langsung menyerah. Dengan kemampuan jurnalistiknya, kerap kali dia menantang pemerintah Hindia-Belanda lewat tulisan-tulisan tajam. Dia mengkritisi politik memecah belah pribumi, indo, dan priyayi. Akibat keberaniannya itu, Douwes Dekker di mata tokoh-tokoh politik Belanda dianggap advonturir, oportunis, bahkan "si bangsat" (hal 38).

Dia pernah menjalani hukuman penjara di beberapa negara. Lalu, bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker dibuang ke Belanda. Tapi, mereka malah melanjutkan sekolah. Douwes Dekker juga pernah dituduh menjadi kaki tangan Jepang. Dia ditahan di Jakarta, kemudian dibawa ke Ngawi dan Magelang. Dia juga pernah diasingkan di Suriname. Namun, semua kejadian itu tetap tidak membuat gentar berjuang meraih kemerdekaan.

Ketika akhirnya kembali ke Indonesia, dia memilih berjuang lewar jalur pendidikan. Dia mengajar di Ksatrian Institut, sekolah yang dibangun bersama beberapa tokoh pentolan Indische Partij. Douwes Dekker serius mengajarkan pentingnya kemerdekaan dan mandiri (hal 64). Hindia-Belanda semakin membenci Douwes Dekker.

Kiprah Douwes Dekker akhirnya memberi inspirasi para pejuang muda, di antaranya Tjokroaminoto dengan Serikat Islam. Kemudian, Soekarno yang mendirikan Partai Nasional Indonesia. Douwes Dekker mengganti nama menjadi Danudirja Setiabudi. Dia meninggal tanggal 28 Agustus 1950 karena sakit.

Diresensi Ratnani Latifah, Alumna Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Baca Juga: