Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno dalam operasi tangkap tangan (OTT) Selasa (29/8). Ini menambah daftar OTT KPK pada Agustus 2017 sebanyak empat orang.

OTT pertama 2 Agustus di Pamekasan, Jawa Timur berkaitan dengan kasus dugaan suap penanganan korupsi dana desa di Pamekasan. Dalam kasus tersebut, KPK menetapkan lima sebagai tersangka.

Mereka adalah Bupati Pamekasan Achmad Syafii, Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudi Indra Prasetya, Kepala Inspektorat Kabupaten Pamekasan Sucipto Utomo, Kepala Desa Dasuk Agus Mulyadi, dan Kepala Bagian Administrasi Inspektorat Kabupaten Pamekasan Noer Solehhoddin. Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudi Indra Prasetya diduga menerima suap untuk menghentikan penanganan kasus korupsi penyelewengan dana desa.

Kasus OTT kedua bulan ini menjerat Tarmizi, selaku Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (21/8). Selain Tarmizi, KPK menetapkan tersangka Direktur Utama PT Aquamarine Divindo Inspection Yunus Nafik dan pengacara bernama Akhmad Zaini.

Tarmizi diduga menerima suap untuk menolak gugatan perdata yang diajukan Eastern Jason Fabrication Service Pte Ltd terhadap PT Aqua Marine Divindo Inspection. Dalam perkara tersebut, Eastern Jason rugi dan menuntut PT Aqua Marine membayar ganti rugi 7,6 juta dollar AS dan 131.000 dollar Singapura.

Hanya tiga hari berselang setelah OTT Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tarmizi, KPK kembali OTT ketiga Agustus ini Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) Kementerian Perhubungan, Antonius Tonny Budiono.

Tonny terjaring OTT KPK karena diduga menerima suap dari Komisaris PT Adhi Guna Keruktama, Adiputra Kurniawan. Suap ini diduga terkait proyek pengerjaan pengerukan Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Keempat penangkapan Wali Kota Tegal Siti Mashita Soeparno Selasa (29/8).

Lagi-lagi korupsi. Kata itulah barangkali yang bisa mewakili kekesalan publik atas ulah sebagian petinggi negeri yang tidak bosan-bosannya bertindak bermoral. Entah sampai kapan episode merugikan negara ini berakhir. Publik pun belum bisa memastikan. Korupsi saat ini menjadi penyakit yang masih sulit diobati. Mereka tak pernah jera, meski sudah banyak yang masuk jeruji besi.

Korupsi telah menjadi penyakit akut negeri ini. Dalam kurun 6 bulan mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2017, Indonesia Corupption Watch (ICW) mencatat ada 226 kasus korupsi. Kasus dengan jumlah tersangka 587 orang itu merugikan negara 1,83 triliun rupiah dan nilai suap 118,1 miliar rupiah.

Dari 226 kasus korupsi tersebut, yang ditangani pihak kejaksaan sebanyak 135, kepolisian 109, dan KPK 21. Modus yang paling banyak adalah pungutan liar (55 kasus). Sekitar 43 persen kasus pungutan liar ditangani kepolisian.

Kejaksaan cenderung lebih banyak menangani kasus dengan modus penyalahgunaan anggaran. Sedangkan KPK lebih banyak menindak kasus korupsi yang bermodus suap.

Bila dilihat kualitas penanganan kasus korupsi, KPK terbilang gemilang. Dari 62 tersangka, enam di antaranya anggota DPR dan tujuh DPRD. Dari 226 kasus korupsi pada semester 1 Tahun 2017, yang paling rentan adalah lembaga pemerintah daerah. Sebanyak 121 kasus korupsi dilakukan di kabupaten/kota hingga provinsi.

Perilaku korupsi memang semakin menggila. Korupsi tidak hanya terjadi di tingkat pemerintah pusat, tetapi telah menyebar ke jantung pemda. Korupsi telah menjadi tren dan gaya hidup. Di mana-mana, pejabat strategis pada institusi negara/pemerintahan, berlomba-lomba korupsi. Mereka berpacu menjarah uang negara dan rakyat. Tidak ada lagi rasa malu memerankan diri sebagai koruptor.

Baca Juga: