Pemerintah juga belum siap menghadapi guncangan harga pangan atau krisis pangan dunia di masa depan karena orientasi impor komoditas masih tinggi.

JAKARTA - Kebijakan pangan dalam negeri perlu memperhatikan kesejahteraan petani dan mencari upaya lanjutan untuk menekan impor bahan makanan. Langkah tersebut diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pertanian di tengah ancaman krisis pangan.

"Ketika petani sejahtera pasti produksi pangan meningkat, kalau petani sejahtera pasti petani tidak akan mengonversi lahannya menjadi lahan nonpertanian," kata Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, di Jakarta, Rabu (13/7).

Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) itu mengatakan kondisi petani belum sepenuhnya sejahtera, mengingat selama ini program pembangunan pangan pemerintah terlalu fokus kepada konsumen, bukan produsen. "Kita lihat belakangan ini saat harga-harga naik, inflasi naik, pemerintah menggenjot agar harga turun sehingga yang dirugikan petani-petani kecil," katanya.

Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga belum siap menghadapi guncangan harga pangan atau krisis pangan dunia di masa depan, karena orientasi impor komoditas yang masih tinggi. Saat ini, impor delapan komoditas utama Indonesia dalam 10 tahun terakhir meningkat 20 juta ton. Dia memperkirakan realisasi impor pada 2022 akan meningkat dibanding 2021.

Sementara itu, program ketahanan pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri seperti program food estate justru lebih banyak menimbulkan kontroversi karena penyediaan lahan yang tidak sesuai. Kondisi ini yang menyebabkan peringkat Indeks Ketahanan Pangan Indonesia mengalami penurunan, dari peringkat ke-62 pada 2019 , turun ke peringkat 65 pada 2020 dan peringkat 69 dari 113 negara pada 2021.

Tantangan Baru

Sebelumnya, isu krisis pangan atau food insecurity menjadi tantangan baru setelah Covid-19, yang dipicu agresi militer Rusia ke Ukraina, yang berdampak kepada kenaikan harga komoditas seperti gandum dan pupuk.

Indonesia menyelipkan isu krisis pangan atau food insecurity pada rangkaian pertemuan ke-3 Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (FMCBG) serta Deputi Bidang Keuangan dan Bank Sentral G20 (FCBD) di Badung, Bali, pada 13-16 Juli 2022. Pembahasan terhadap isu itu merupakan salah satu upaya G20 merespons ancaman krisis akibat agresi Rusia di Ukraina, kata salah satu pejabat Kementerian Keuangan RI.

"Kemarin (Senin, 11/7) asumsinya (dunia) hanya menghadapi pandemi (Covid-19), ternyata di tengah-tengah, ada tantangan baru, pecah perang Rusia dan Ukraina, yang dapat men-trigger (memicu, red.) potensi krisis baru, (yaitu) krisis pangan dan krisis energi, yang dapat berimbas ke krisis keuangan," kata Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Kementerian Keuangan Dian Lestari saat jumpa pers di BNDCC, Badung, Bali, Selasa (12/7) malam.

Dia menyampaikan food insecurity menjadi agenda baru yang berusaha didorong oleh Indonesia dalam pertemuan ke-3 tingkat deputi keuangan G20 (FCBD) pada 13-14 Juli dan pertemuan ke-3 tingkat menteri keuangan serta gubernur bank sentral (FMCBG) G20 pada 15-16 Juli. Namun, tidak hanya pada pertemuan utama, Indonesia, yang menjadi tuan rumah rangkaian acara G20 tahun ini juga menjadwalkan seminar tingkat tinggi (high level seminar) khusus membahas isu food insecurity.

"Food insecurity menjadi salah satu agenda baru yang kami berusaha dorong, nanti di-trigger dari penyelenggaraan seminar mengenai promoting global collaboration to tackle food insecurity (menggalang kolaborasi global demi mengantisipasi ancaman krisis pangan, red.)," kata Dian.

Baca Juga: