Pembukaan kran impor garam sebanyak 75 ribu ton dari Australia dikhawatirkan hanya menjadi bancakan rente politik bisnis pangan.
JAKARTA - Keberpihakan pemerintah terhadap produksi garam dalam negeri dinilai belum optimal. Minimnya proteksi dari pemerintah dianggap menjadi salah satu kendala yang membuat produksi garam lokal tidak kunjung meningkat.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menegaskan, selama ini, pemerintah tidak memberikan insentif ke pada petambak garam untuk memproduksi garam dengan kualitas tinggi. Harga jual garam di tingkat petambak garam tidak ada bedanya antara kualitas tinggi dengan kualitas rendah.
"Akibatnya, petambak lebih memilih memproduksi garam dengan kualitas rendah," ujar Nailul, di Jakarta, Senin (31/7).
Selain masalah insentif, Huda juga menyoroti lemahnya perhatian pemerintah terhadap masalah teknologi yang dialami petambak garam. Teknologi yang digunakan untuk oleh petani garam selama ini masih tradisional. Sementara laut di Indonesia, khususnya di pantai utara Jawa, kandungan NaCI-nya terlalu rendah sehingga butuh proses lebih lama untuk menghasilkan garam dengan kualitas bagus.
Ketika ditanyakan seputar anggaran, Huda mengakui sebenarnya ada pendanaan dari pemerintah yang diambil untuk program pemberdayaan usaha garam rakyat (PUGAR). Namun, implementasi dan dampaknya belum maksimal.
Menurutnya, dana PUGAR semestinya dimanfaatkan untuk pengembangan teknologi produksi garam dan pembukaan lahan potensial untuk produksi garam baru. Pasalnya, ada daerah potensial untuk menghasilkan garam, seperti Sumba di Nusa Tenggara Timur (NTT) karena kadar NaCl-nya lebih tinggi.
"Itu berpotensi memproduksi garam industri, mestinya dana pugar diefektifkan ke lokasi-lokasi tersebut," ungkapnya.
Seperti diketahui, pemerintah telah menugaskan BUMN, PT Garam, untuk mengimpor garam sebanyak 75 ribu ton. Garam impor tersebut bersumber dari Aurtralia dan akan masuk di Indonesia pada 10 Agustus mendatang. Adapun garam tersebut akan digunakan untuk bahan baku industri makanan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan kran impor tersebut dibuka karena menurunnya produksi garam tahun ini. Penurunan itu disebabkan curah hujan yang tinggi sepanjang Mei-Juli 2017 sehingga mengganggu waktu panen garam.
Momentum Perbaikan
Peneliti dari lembaga Destructive FishingWatch (DFW)-Indonesia, Subhan Usman, memprediksi kelangkaan garam tidak akan berlangsung lama, menyusul akan terjadinya panen garam di beberapa wilayah yang merupukan sentra produksi. Subhan meminta pemerintah menjadikan persoalan sekarang sebagai momentum memperbaiki arah kebijakannya di sektor garam, termasuk mengatasi keterbatasan lahan bagi petani, kualitas yang buruk serta penurunan produksi.
Sementara itu, Deputi Sekjen FITRA, Apung Widadi, mengkhawatirkan impor garam sebanyak 75 ribu ton hanya menjadi bancakan rente politik bisnis pangan. Pasalnya, penunjukan PT Garam untuk mengimpor juga masih belum tepat, mengingat baru-baru ini direktur utama perusahaan tersebut terlibat skandal terkait impor garam.
Menurutnya, mestinya PT Garam diaudit terlebih dahulu dan dinilai kemampuannya untuk mengimpor garam sebanyak 75 ribu ton, bukannya langsung ditunjuk. Lebih lanjut, Apung menjelaskan gejolak garam ini semestinya sudah diprediksi jauh-jauh hari.
"Karenanya, sejak saat itu pula sudah banyak kebijakan terkait pemberdayaan petani garam yang digulirkan, termasuk melibatkan teknologi, bukan justru terus menyalahkan cuaca," tegasnya. ers/E-10