JAKARTA - Pemerintah diminta untuk membuat strategi perencanaan dan pengembangan pangan ke depan yang lebih komprehensif. Hal itu penting untuk mengantisipasi krisis pangan global yang mengakibatkan lonjakan harga bahan makannan.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, YB Suhartoko, mengatakan kebergantungan terhadap pangan tidak saja pada makanan pokok seperti beras, namun juga komoditas pangan sebagai input industri pengolahan hasil pangan.

Adanya kecenderungan kenaikan impor beras, dalam 10 tahun terakhir sejak 2013 sudah meningkat delapan miliar dollar Amerika Serikat (AS) lebih. Di sisi lain, produksi dan areal pertanian dan usaha pertanian malah menyusut karena alih fungsi lahan.

Kebergantungan pangan sebagai input juga sangat mengkhawatirkan, khususnya komoditas gandum dan bawang putih yang impor 100 persen. Begitu pula dengan kedelai 97 persen, gula 70 persen, dan daging sapi 50 persen masih impor.

Menurut Suhartoko, inti dari perencanaan pangan yang terutama adalah pemetaan berdasarkan potensi tanaman yang bisa dikembangkan pada setiap daerah, untuk mengembalikan budaya makanan pokok ke komoditas selain beras.

Selain itu, strategi industrialisasi pengolahan hasil pangan dan konsumsi harus bergeser kepada bahan baku yang bisa dihasilkan secara domestik. Hal yang tidak kalah penting adalah ketahanan pangan harus terealisasi sebagai perwujudan kemandirian pangan.

Problem Mendasar

Dalam kesempatan berbeda, Guru Besar Ekonomi Pertanian dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan krisis pangan global telah menjadi perhatian serius bagi banyak negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Dengan kekayaan alam yang melimpah, Indonesia seharusnya mampu mandiri dalam memproduksi pangan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Namun, kenyataannya adalah Indonesia masih mengimpor sejumlah besar komoditas pangan, terutama gandum, kedelai, gula, dan bahkan beras.

"Hal ini membuat kita sangat rentan terhadap perubahan harga di pasar global, yang dapat berdampak langsung pada stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Beras harga naik kan bingung semua. Petani happy, tapi masyarakat konsumen menjerit. Ini tanda bahwa ada problem mendasar," kata Dwijono.

Ia pun menekankan pentingnya meningkatkan produktivitas tidak saja di satu produk beras, tapi juga aneka bahan pangan lokal lainnya. Dengan demikian, pangan tidak hanya menjadi komoditas dagang, tapi juga sebuah rantai industri yang mandiri dari petani hingga hilirnya.

"Konsumsi pangan lokal tidak hanya mendukung ekonomi lokal, tetapi juga memiliki dampak positif pada lingkungan dan keberlanjutan. Perlu success story di satu produk pangan lokal. Langkah nyata saja, jangan wacana dan sosialisasi lagi," tandas Dwijono.

Dari Jawa Timur, ahli gizi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Lailatul Muniroh, mengatakan masyarakat harus mencari sumber pangan yang lebih terjangkau untuk menghadapi ancaman krisis pangan global dan paceklik. Menurutnya, masih banyak bahan pangan lokal yang dapat dijadikan alternatif untuk memenuhi kebutuhan gizi ketika harga beras naik.

"Alternatif yang dimaksud adalah sumber karbohidrat kompleks yang memiliki ketahanan sumber energi lebih lama, juga dapat menjadi sumber serat yang baik untuk pencernaan, seperti singkong, ubi jalar, jagung, talas, kentang, beras merah, dan beras ketan," kata Lailatul.

Lailatul menjelaskan, selama ini masyarakat hanya mengenal tentang karbohidrat dalam beras saja. Karbohidrat terbagi menjadi dua jenis, yaitu karbohidrat sederhana dan karbohidrat kompleks.

"Karbohidrat sederhana adalah karbohidrat yang memiliki struktur molekul yang sederhana, sehingga mudah dicerna dan diserap oleh tubuh, contohnya adalah gula, madu, sirup, dan buah-buahan," katanya.

Sedangkan karbohidrat kompleks adalah karbohidrat yang memiliki struktur molekul yang kompleks, sehingga memerlukan waktu lebih lama untuk dicerna dan diserap oleh tubuh, seperti nasi, roti, kentang, singkong, jagung, gandum, oatmeal, dan kacang-kacangan.

Dia pun menyarankan untuk memilih sumber karbohidrat kompleks daripada karbohidrat sederhana, karena karbohidrat kompleks memberikan energi secara bertahap.

"Karbohidrat sederhana dapat menyebabkan lonjakan kadar gula darah yang cepat, sehingga memicu pelepasan insulin secara tiba-tiba dari pankreas untuk mengatur kadar gula darah. Ini dapat menyebabkan rasa lapar yang cepat, penurunan energi, dan penimbunan lemak," terangnya.

Sebaliknya, karbohidrat kompleks menghasilkan peningkatan kadar gula darah yang lebih lambat dan stabil, sehingga insulin dilepaskan secara bertahap dan membantu menjaga keseimbangan gula darah.

"Karbohidrat kompleks juga dapat memberikan rasa kenyang lebih lama, mengontrol nafsu makan, dan meningkatkan metabolisme," pungkasnya.

Baca Juga: