JAKARTA - Pemerintah optimistis perdagangan karbon bisa diimplementasikan secara penuh pada 2025. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah melakukan proyek percontohan perdagangan karbon untuk usaha Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.

"Untuk mempersiapkan sistem perdagangan emisi karbon yang rencananya wajib diterapkan pada 2025, sejak awal 2021 kemarin, Dirjen Ketenaga Listrikan telah melakukan uji coba dengan skema sukarela," kata Plt. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Pande Putu Oka Kusumawardani dalam diskusi daring Menimbang Untung Rugi Pajak Karbon yang dipantau di Jakarta, Jumat (22/10).

Proyek percontohan tersebut diikuti pula 32 unit PLTU batu bara. Pada proyek percontohan tersebut, pemerintah telah berhasil melakukan transaksi transfer karbon melalui perdagangan karbon dengan harga sekitar Rp30 per kilogram setara karbon dioksida.

"Dari proyek percontohan itu, Indonesia bisa dikatakan sudah bisa melakukan perdagangan karbon," kata Pande.

PLTU batu bara menjadi sektor pertama yang dipungut pajak karbon mulai 1 April 2022 mendatang berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Selain terbukti berhasil menerapkan perdagangan karbon berdasarkan proyek percontohan yang dilakukan, sektor ini dipilih karena pengurangan emisi di sektor energi dan kehutanan atau pertanian mencapai hampir 97 persen dari total penurunan emisi.

Menurut Pande, pada 2025, secara bertahap pemerintah akan memperluas sektor yang dipungut pajak karbon. "Pajak karbon yang diperkenalkan dalam UU HPP punya tujuan utama yaitu mendukung mitigasi dampak perubahan iklim, yang fokus utamanya sebetulnya mengubah perilaku entitas usaha ke arah yang lebih ramah lingkungan atau rendah karbon," ucapnya.

Jadi Tantangan

Pada kesempatan sama, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov memperingatkan penerapan pajak karbon mesti dilakukan dengan hati-hati agar tidak menurunkan daya saing industri dalam negeri.

"Pengenaan pajak karbon terdapat dilema karena negara kita masih termasuk berpendapatan menengah apalagi setelah pandemi kita sempat turun level. Memperkenalkan pajak karbon kepada dunia usaha dan masyarakat pun menjadi tantangan," kata Abra.

Sebelum terdapat pajak karbon, total factor productivity index Indonesia masih tertinggal dari beberapa negara Asia lain seperti Tiongkok dan India. Karenanya, pajak karbon mesti dipungut tanpa mengurangi daya saing industri.

Baca Juga: