» Jika suku bunga acuan di Amerika Serikat berubah, maka semua biaya pinjaman juga menyesuaiakan.
» Di Indonesia, mau suku bunga turun atau naik, bank-bank tetap menetapkan suku bunga sesuai dengan target marjin yang mereka inginkan.
JAKARTA - Era pelonggaran kebijakan moneter mulai terlihat seiring dengan penurunan suku bunga acuan beberapa bank sentral di dunia. Bank Indonesia (BI) sendiri bahkan mengambil langkah lebih awal menurunkan suku bunga acuan BI7days Reverse Repo Rate 0,25 persen menjadi 6 persen sehari sebelum Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve memangkas bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) 50 basis poin atau 0,5 persen ke level 4,75-5 persen.
Relaksasi kebijakan sektor keuangan itu sejatinya diharapkan menstimulasi perekonomian karena dunia usaha diharapkan makin meningkatkan penarikan pembiayaan. Namun demikian, harapan tersebut akan percuma kalau sektor jasa keuangan khususnya perbankan tidak menurunkan suku bunga kredit atau pinjaman. Sekalipun suku bunga kredit turun, dunia usaha pun tetap akan mengalkulasi secara cermat dalam menarik pinjaman jika daya beli masyarakat memang dalam kondisi lesu.
Pengamat ekonomi dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI), Surabaya, Leo Herlambang, mengatakan pemangkasan suku bunga the Fed seharusnya memicu kebangkitan dunia usaha dan industri yang kerap direspons juga dengan kenaikan saham di pasar modal. "Dapat kita lihat beberapa pasar modal posisiya ada pada 'All Time High' seperti di Jerman, di Indonesia saat ini juga relatif 'All Time High'. Itu menunjukkan pasar sudah menangkap sinyal the Fed sejak awal," jelas Leo.
Dalam perkembangannya, bunga kredit sebagai fasilitas pembiayaan diharapkan juga ikut turun. "Bukan hanya bunga bank sentralnya saja yang turun, tapi juga bunga pinjaman diusahakan juga turun sehingga harga dari produk ikut turun, dan posisi ekonomi masyarakat akan berkembang lebih baik," pungkas Leo. Pada Rabu (18/9), the Fed dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) memangkas suku bunga acuan 50 basis poin (bps) atau yang pertama sejak Maret 2020.
Gubernur the Fed, Jerome Powell, dan jajaran memutuskan untuk mencegah perlambatan pasar tenaga kerja AS dengan menurunkan suku bunga ke kisaran 4,75 persen-5 persen. CNN menyebut efek dari pemangkasan itu membuat biaya pinjaman atau kredit bagi warga AS turun, mulai dari hipotek hingga kartu kredit. Di lain sisi, perdagangan saham di Negeri Paman Sam tampak fluktuatif merespons kebijakan tersebut. Direktur Pusat Psaros Universitas Georgetown Reena Aggarwal mewantiwanti implikasi sikap the Fed kepada pasar global.
Ia menyebut akan ada efek limpahan yang terasa di belahan dunia lain, termasuk negara berkembang. Aggarwal menegaskan sikap the Fed yang memangkas suku bunga 50 bps pasti mempengaruhi pasar valuta asing. Ini akan menguntungkan dollar AS yang menjadi mata uang cadangan global. "Pasar (negara) berkembang terdampak karena sebagian besar pinjaman mereka dalam dollar AS," katanya, seperti dikutip dari CNBC International, Kamis (19/9). "Jadi, mereka harus membayar bunga dan pokok pinjaman dalam dollar AS. Jika suku bunga berubah di AS, semua biaya pinjaman juga berubah," sambung Aggarwal.
Dampak Langsung
Pada kesempatan terpisah, Peneliti Pusat Riset Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana, Bengkayang, Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut, mengatakan pemangkasan suku bunga acuan BI seharusnya berdampak langsung ke dunia usaha dan nasabah seperti di AS.
Di AS, penurunan suku bunga acuan FFR oleh the Fed akan memberikan dampak langsung bagi masyarakat di negara ekonomi terbesar dunia itu. Suku bunga yang lebih rendah akan meringankan beban peminjam, baik untuk hipotek, pinjaman, maupun saldo kartu kredit. Kebijakan itu disambut penuh harap terutama bagi nasabah yang memiliki utang. Kebijakan itu, kata Siprianus, menjadi kabar baik karena pembayaran bunga mereka akan turun.
Namun demikian, di sisi lain, suku bunga yang lebih rendah juga berarti beberapa bank mungkin akan mengurangi suku bunga yang mereka tawarkan kepada nasabah penyimpan, sehingga keuntungan dari menabung bisa berkurang. "Ini harus jadi contoh, di Indonesia mau suku bunga turun atau naik, bankbank tetap menetapkan suku bunga sesuai dengan target marjin yang mereka inginkan. Kadang suku bunga acuan naik, tapi bunga simpanan yang bank tawarkan tetap rendah. Sebaliknya, meskipun bunga acuan turun, suku bunga kredit tetap tinggi karena dasarnya tingkat marjin yang mereka ingin raih. Hal itu yang menyebabkan fungsi intermediasi bank tidak berjalan secara ideal," tutup Siprianus.