JAKARTA - Perkiraan lembaga pemeringkat Moody's menyatakan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2023 berpotensi membengkak di atas 45 persen. Potensi itu seiring dengan peningkatan kasus harian Covid-19 sejak akhir Juni 2021 dan awal Juli 2021 yang menyebabkan tantangan baru dan lebih besar dalam pengelolaan fiskal atau keuangan negara.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jayakarta, Yohanes B. Suhartoko, mengkhawatirkan percepatan pertumbuhan utang tersebut, sehingga pemerintah perlu melakukan terobosan demi menjaga keberlanjutan fiskal.

"Ini yang perlu diwaspadai di tengah kondisi sulitnya meningkatkan penerimaan pemerintah secara signifikan yang terlihat dari tax ratio yang cenderung menurun," kata Suhartoko, di Jakarta, Senin, (26/7).

Menurut dia, ukuran keberlanjutan fiskal bukan hanya soal rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) suatu negara, namun juga banyak faktor yang ikut menentukan lainnya.

Jika dilihat rasio utang pemerintah terhadap PDB, rasanya masih aman karena standard Maastricht treaty memang mensyaratkan maksimum 60 persen PDB.

Di banyak negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang, rasio utang pemerintah terhadap PDB lebih besar dari 60 persen, namun demikian keberlanjutan fiskalnya masih terjaga karena surat berharga yang mereka terbitkan marketable, liquid, dan berbunga murah.

Bagi Indonesia, kata Suhartoko, parameternya bukan hanya rasio utang pemerintah terhadap PDB, tetapi bagaimana kinerja besaran besaran lain seperti defisit primer serta kecenderungan rata-rata (maturity) jatuh temponya.

Hal lainnya soal tingkat risiko surat berharga yang dikeluarkan yang berpengaruh terhadap suku bunga. "Tentu yang tidak kalah penting adalah kemampuan meningkatkan penerimaan pemerintah untuk membayar utang," katanya.

Cukup Beralasan

Sementara itu, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya, Andy Fefta Wijaya, mengatakan perkiraan lembaga pemeringkat Moody's bahwa rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2023 berpotensi membengkak di atas 45 persen cukup beralasan. Hal itu akan terjadi apabila peningkatan utang pemerintah tidak diimbangi dengan keberhasilan menaikkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi.

"Apabila pemerintah menerbitkan lagi surat utang maka harus sangat hati-hati apalagi dipatok dalam dollar atau mata uang asing lainnya, karena nilai tukar uang kita yang belum membaik sampai saat ini, dan bisa jadi akan memburuk apabila kredibilitas ekonominya tergerus terus," kata Andy.

Apalagi dalam situasi sulit di masa pandemi ini mayoritas sektor dunia usaha melesu. Pemerintah harus merasionalisasi lagi aspek belanjanya. Belanja di sektor kesehatan dan ekonomi masyarakat paling terdampak akibat pademi covid 19 ini tetap prioritas bahkan perlu ditingkatkan, diimbangi dengan mengurangi belanja sektor-sektor lainnya yang masih bisa ditunda dulu seperti infrastruktur.

Pemerintah dan dunia usaha juga perlu menggenjot sektor manufaktur dan jasa terutama mode layanan yang berbasis e-service. n ers/SB/E-9

Baca Juga: