Pemerintah perlu melakukan reformasi kebijakan untuk membuka peluang investasi di energi terbarukan.

JAKARTA - Transisi energi melalui pengembangan energi terbarukan dinilai dapat mengakeselerasi pertumbuhan ekonomi nasional. Karena itu, percepatan transisi energi dari fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT) perlu terus didorong.

"Peluang pertumbuhan ekonomi dari transisi energi dapat dicapai melalui tiga jalur pengembangan energi terbarukan," ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, di Jakarta, Kamis (10/10).

Menurut dia, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan transisi energi dapat dilakukan dengan, pertama, diversifikasi industri energi bersih. Pengembangan industri energi terbarukan, lanjutnya, akan merangsang sektor industri nasional dengan menciptakan peluang rantai pasok dan manufaktur energi terbarukan, seperti sel dan modul surya, turbin angin, dan komponen mobil listrik dan industri rantai pasoknya.

Kedua, pengembangan infrastruktur hijau yang dapat menarik investasi seperti pembangunan transmisi, jaringan pintar (smart grid), dan penyimpanan energi (energy storage). "Ketiga, pembangunan ekowisata yang ramah lingkungan," ujarnya dalam Webinar Road to Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024: Transisi Energi sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen.

Terkait hal itu, Fabby mendorong pemerintah melakukan tiga reformasi kebijakan untuk membuka peluang investasi di energi terbarukan. Pertama, reformasi subsidi energi fosil dan penetapan harga karbon, dengan menghapus subsidi energi fosil yang mendistorsi pasar dan menyulitkan energi terbarukan bersaing dan menetapkan kebijakan harga karbon yang efektif.

Kedua, reformasi pembiayaan infrastruktur, melalui penggunaan instrumen dana publik untuk menarik investasi, dan mengembangkan blended finance dan instrumen pendanaan hijau seperti green bond untuk mendukung proyek energi terbarukan dan efisiensi energi, serta mengoptimalkan dana iklim seperti pemanfaatan pajak karbon (carbon tax) untuk mendanai transisi energi.

Ketiga, membangun kemitraan dan kerja sama internasional, lanjutnya, sebagai negara ekonomi terbesar di Asean, Indonesia perlu memposisikan diri sebagai pemimpin dalam kemitraan energi bersih secara global maupun Asia Tenggara dan bekerja sama dengan negara-negara yang menguasai teknologi energi bersih untuk mendorong alih teknologi dan pendanaan proyek energi bersih.

Persempit Kesenjangan

Koordinator Riset Sosial Kebijakan dan Ekonomi, IESR Martha Jesica, menambahkan proses transisi energi harus adil dan inklusif sehingga mempersempit kesenjangan pendapatan. Selain itu, manfaat transisi energi harus dirasakan oleh seluruh masyarakat.

Karena itu, menurut dia, pemerintah perlu merumuskan kebijakan fiskal yang mendukung ekonomi rendah karbon dan bermanfaat bagi perekonomian daerah, misalnya melalui alokasi belanja pemerintah untuk program penyertaan modal badan usaha terkait energi terbarukan dan ekonomi hijau. "Transisi energi yang adil erat kaitannya dengan partisipasi dan pelibatan masyarakat dengan program pembangunan ekonomi dan energi di sekitar mereka," katanya.

Sementara itu, Ali Mundakir, anggota Dewan Pakar Prabowo-Gibran, menyatakan pemanfaatan energi terbarukan memiliki potensi besar untuk mencapai swasembada energi di Indonesia. Optimasi energi terbarukan dapat secara signifikan mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM) dan liquified petroleum gas (LPG).

Saat ini, pemanfaatan energi terbarukan masih relatif kecil, namun hal tersebut memberikan peluang besar untuk dieksplorasi dan dikembangkan lebih lanjut. Menurut dia, salah satu langkah yang perlu diambil adalah memperbaiki iklim investasi di sektor ini, sehingga semakin menarik bagi para pemangku kepentingan untuk berinvestasi.

Kemudian, pengembangan smart grid juga menjadi target penting dalam lima tahun ke depan, guna mengoptimalkan produksi energi surya dan angin.

Baca Juga: