JAKARTA - Pemerintah diminta untuk secepatnya melakukan diversifikasi pangan atau substitusi impor. Sebab, lonjakan harga gandum di pasar global tidak hanya mengerek kenaikan harga produk makanan, tetapi menghambat laju pertumbuhan ekonomi daerah dan memukul daya beli rumah tangga.

Ketua dan Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM Institut Pertanian Bogor (IPB), Sahara, mengatakan harga gandum dunia sudah tiga kali mengalami structural break atau guncangan dari 1960-2022. Kemudian, perang Russia-Ukraina memperburuk situasi ketersediaan dan harga pangan global.

Sebenarnya RI tidak terlalu terdampak apabila ketergantungan impor gandum tak seperti saat ini. Penurunan produk domestik bruto (PDB) akibat kenaikan harga gandum sebesar 0,0002 persen. Masalah Indonesia ialah lambatnya melakukan substitusi impor. Padahal, substitusi impor bisa membantu tekanan harga gandum.

"Substitusi impor akan meningkatkan PDB sebesar 0,1193 persen memperbaiki neraca perdagangan dan menahan laju inflasi," kata Sahara, di Jakarta, Minggu (17/7).

Kenaikan harga gandum, lanjutnya, memberi sejumlah dampak buruk, di antaranya mengerek kenaikan harga produk makanan di dalam negeri. Beda halnya apabila sudah ada substitusi impor, kendatipun harga gandum naik harga produk makanan akan tetap turun, kecuali tepung gandum.

"Dampak lainnya ialah terhadap output. Kenaikan harga gandum akan menurunkan output produk makanan, beda halnya jika kenaikan harga gandum diikuti dengan substitusi impor maka akan meningkatkan output produk makanan, kecuali roti dan biskuit," papar Sahara.

Pertumbuhan ekonomi daerah juga terganggu oleh kenaikan harga gandum. Itu menurunkan pertumbuhan ekonomi di beberapa provinsi di Tanah Air. Beda halnya bila kenaikan harga gandum diikuti dengan kebijakan substitusi impor tentu akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi semua provinsi di Tanah Air.

Memukul Daya Beli

Kenaikan harga gandum juga benar-benar memukul daya beli masyarakat. "Kenaikan harga gandum berdampak negatif terhadap rumah tangga dari semua golongan perkotaan dan pedesaan, itu akan memicu penurunan pendapatan dan konsumsi rumah tangga," tegasnya.

Karena itu, lanjutnya, pemerintah harus melakukan substitusi impor bertahap, dengan membuat road map, dengan melakukannya dalam skala industri yang didukung dengan ketersediaan teknologi dan investasi. Itu nantinya didukung dengan harga yang bersaing serta ketersediaan yang memadai.

"Demikian juga pada perilaku konsumen, kampanyekan produk tepung alternatif, serta perkenalkan produk olahan tepung alternatif. Diversifikasi pangan jadi kunci," ungkapnya.

Masih terkait urusan pangan, Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR Anis Byarwati meminta pemerintah mencermati tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor.

Beban impor pangan saat ini sangat berat seiring dengan perang Russia-Ukraini yang belum jelas ujungnya. Ketergantungan impor, tambahnya, selain memicu naiknya inflasi juga dapat memperparah depresiasi nilai tukar rupiah.

Baca Juga: