Di tengah rupiah melemah dan potensi harga minyak mentah global melonjak, kenaikan subsidi energi berisiko memicu defisit anggaran makin besar.

JAKARTA - Pemerintah perlu mempercepat reformasi kebijakan subsidi energi dari mekanisme terbuka menjadi subsidi tertutup dan tepat sasaran. Perubahan tersebut dimaksudkan agar pemberian subsidi tidak melebihi kapasitas anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dalam meredam gejolak harga di tengah ketidakpastian global.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai transformasi kebijakan subsidi energi tersebut ditujukan agar tambahan subsidi dan kompensasi energi tidak sampai menyebabkan defisit APBN 2023 melampaui 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef, Abra Talattov, dalam diskusi virtual di Jakarta, Selasa (14/2), menyatakan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang segmentasi konsumen bahan bakar minyak (BBM) subsidi serta optimalisasi pendataan konsumen BBM dan liquefied petroleum gas (LPG) subsidi melalui platform MyPertamina dapat menjadi instrumen transisi dalam mereformasi kebijakan subsidi energi nasional.

Tantangan berat akan dihadapi pada 2023, yaitu masih adanya risiko kenaikan harga minyak mentah dunia, tren depresiasi rupiah dan meningkatnya konsumsi BBM dan LPG subsidi yang akan berpengaruh terhadap subsidi energi. Di tahun konsolidasi fiskal, defisit APBN pada 2023 ditetapkan 2,85 persen terhadap PDB.

"Di tengah masih tingginya ketidakpastian geopolitik global, pemerintah harus mengambil pelajaran dari pengalaman pada 2022," jelas Abra.

Dengan masih berlakunya skema subsidi terbuka BBM dan LPG di tengah berlanjutnya fase pemulihan ekonomi maka semakin memperbesar risiko lonjakan permintaan BBM dan LPG subsidi melampaui kuota subsidi. Kondisi tersebut, turut menjadi sumber risiko terhadap pembengkakan subsidi dan kompensasi energi di tengah tahun konsolidasi fiskal.

Risiko defisit

Seperti diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan subsidi energi pada 2023 mencapai 209,9 triliun rupiah dengan rinciannya, subsidi BBM dan LPG sebesar 139,4 triliun rupiah, dan subsidi listrik sebesar 70,5 triliun rupiah. Angka tersebut lebih besar dibandingkan realisasi subsidi energi pada 2022 sebesar 157,6 triliun rupiah terdiri dari subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan LPG sebesar 97,8 triliun rupiah, dan subsidi listrik sebesar 59,8 triliun rupiah.

Terkait dengan kenaikan tersebut, Indef memperingatkan risiko peningkatan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023. Dalam simulasi dengan perkiraan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian crude price (ICP) menyentuh 100 dollar AS per barel dan nilai tukar rupiah mencapai 15.000 rupiah per dollar AS maka berpotensi mengakibatkan kenaikan tambahan subsidi dan kompensasi BBM dan LPG sebesar 62,1 triliun rupiah. Dengan kondisi tersebut, defisit APBN 2023 berpotensi melampaui batas 3 persen terhadap PDB, yaitu 3,13 persen.

Sesuai dengan asumsi APBN 2023, ICP dipatok 90 dollar AS per barel, sementara nilai tukar rupiah di level 14.800 rupiah per dollar AS.

Sebelumnya, anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati, menyoroti kenaikan anggaran negara sekaligus ironi berkurangnya beberapa subsidi untuk rakyat. Dia juga merasa prihatin dengan semakin beratnya beban rakyat yang dipicu dari kenaikan pajak.

Baca Juga: