Industri manufaktur harus memiliki fleksibilitas dalam menyikapi berbagai perkembangan yang dinamis dan cepat agar dapat keluar dari jebakan deindrustrialisasi.

JAKARTA - Industri pengolahan tercatat masih menjadi penyumbang tertinggi kinerja ekspor nasional, sekitar 30 persen. Meksi demikian, pemerintah perlu mempercepat langkah untuk keluar dari jebakan deindustrialisasi sehingga daya pacu industri manufaktur makin terpacu.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan agresivitas sektor manufaktur menembus pasar internasional turut mengakselerasi upaya pemulihan ekonomi nasional. "Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan daya saing industri nasional agar bisa menghasilkan produk yang bernilai tambah tinggi dan kompetitif di mancanegara. Sudah banyak pelaku industri kita yang produknya menguasai kancah global," jelas Menperin di Jakarta, Senin (21/6).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada Januari-Mei 2021, nilai ekspor industri pengolahan mencapai 66,70 miliar dollar AS, naik 30,53 persen dibandingkan periode sama 2020 (yoy). Dari capaian tersebut, industri pengolahan berkontribusi tertinggi, yakni 79,42 persen dari total ekspor nasional sebesar 83,99 miliar dollar AS.

Menurut Menperin, besarnya proporsi ekspor produk industri pengolahan sekaligus menggambarkan terjadinya pergeseran ekspor Indonesia dari komoditas primer ke produk manufaktur bernilai tambah. Hal ini dinilai dapat menghindarkan ekspor dari gejolak harga komoditas primer.

"Karenanya, Kemenperin bertekad untuk terus memacu hilirisasi industri, karena berdampak positif dan memberikan multiplier effect yang luas, termasuk dalam penerimaan devisa melalui capaian ekspor," paparnya.

Membaiknya kinerja ekspor selama lima bulan ini, mencatatkan surplus perdagangan 10,17 miliar dollar AS. Pemerintah juga mendorong sektor industri untuk melakukan perluasan pasar ekspor, khususnya pasarpasar non-tradisional seperti ke Afrika, Asia Selatan, dan Eropa Timur.

Deindustrialisasi Prematur

Sementara itu, Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang, Esther Sri Astuti mengatakan deindustrialisasi terjadi di Indonesia sekitar krisis ekonomi pada 1997. Selain itu, secara umum, kompetisi dunia makin ketat disertai ketidakpastian tinggi dan dinamika cepat menuntut perusahaan harus bergerak fleksibel.

Langkah komprehensif kiranya diperlukan agar industri manufaktur dapat mencoba keluar dari jebakan deindustrialisasi prematur antara lain harus mencoba untuk dapat fleksibel dalam menyikapi perubahanperubahan yang demikian cepat dan serba tidak pasti.

"Fleksibilitas manufaktur ini memiliki banyak kemungkinan yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi-kondisi mikro yang dihadapi oleh masing- masing pelaku industri manufaktur," ucapnya.

Menurut dia, fleksibilitas manufaktur perlu ditempatkan dalam kerangka menuju Indonesia yang fasih dengan kemajuan teknologi. Ini juga berarti bahwa industri yang telah sempat dipilih untuk mendapatkan perhatian lebih, yakni makanan dan minuman, tekstil, otomotif, elektronik dan kimia seharusnya mendapatkan dukungan yang lebih komprehensif untuk mampu melakukan pilihanpilihan fleksibilitas dalam aktivitas produksinya.

Baca Juga: